JAKARTA. Bank Indonesia (BI) terus menata pasokan valuta asing (valas) di dalam negeri. Setelah merilis Peraturan Bank Indonesia (PBI) tentang kegiatan lindung nilai (hedging) perusahaan milik negara (BUMN), otoritas moneter ini akan membatasi transaksi cross currency swap (CCS) di perbankan. Sekadar informasi, CCS adalah kontrak antara dua pihak untuk melakukan pertukaran pokok pinjaman (principal) dan suku bunga kredit (interest) dalam dua mata uang yang berbeda selama suatu periode tertentu. Penukarannya menggunakan nilai tukar mata uang (exchange rate) pada saat transaksi disepakati. Adapun, tujuannya adalah untuk mendapatkan pendanaan dalam mata uang yang berbeda. Menurut Agus Martowardojo, Gubernur BI, tidak semua kelompok bank devisa dapat menjalankan CCS. Hanya bank yang memiliki manajemen risiko baik yang dapat menjalankan transaksi tersebut. “Misalnya, kelompok bank besar yang mampu memitigasi risiko,” ujar Agus, kemarin (19/9).
Bistok Simbolon, Deputi Direktur Departemen Pengelolaan Moneter BI menambahkan, dari sisi neraca keuangan, Bank Umum Kelompok Usaha (BUKU) 3 dan BUKU 4 yang relatif lebih kuat sehingga mampu melayani transaksi cross currency swap. BUMN menjadi target Menurut Mirza Adityaswara, Deputi Gubernur Senior BI, ada dua jenis transaksi swap. Pertama adalah currency swap yakni lindung nilai (hedging) untuk nilai tukar atau kurs. Kedua, cross currency swap atau lindung nilai untuk kurs dan suku bunga. Bank yang melakukan cross currency swap, menurut Mirza, memerlukan keahlian yang lebih tinggi dibandingkan dengan transaksi lainnya. Demikian juga dalam hal neraca , bank yang lebih mumpuni dalam mengendalikan risiko. Jadi, bank harus mampu memitigasi risiko fluktuasi nilai tukar atas mismacth arus kas. Misalnya, saat debitur yang mengajukan kredit mendapatkan kucuran dana dalam mata uang rupiah, sedangkan kebutuhan operasional dan pendapatan nya dibukukan dalam mata uang dollar Amerika Serikat (AS).