Emisi obligasi ritel oleh pemerintah yang agresif sejak awal tahun memantik kekhawatiran akan munculnya crowding out. Fenomena semacam itu bisa terjadi karena emisi obligasi ritel oleh negara dapat menyedot dana investor hingga dana yang mengalir ke perbankan dan pasar keuangan menjadi menipis. Dengan menawarkan bunga 8,25% per tahun, investor tentu lebih memilih surat utang negara ritel dibandingkan bunga deposito yang memasang bank yang jauh lebih rendah. Bunga untuk deposito 12 bulan dan 24 bulan rata-rata 6,24% dan 6,76%. Apalagi untuk dibelikan surat utang korporasi yang risikonya jauh lebih tinggi. Aliran dana ke sektor riil dapat terganggu karena crowding out ini. Pemerintah dihadapkan pada dilema antara pemenuhan dana pembangunan atau stabilitas dan pembangunan pasar dan lembaga keuangan nasional yang berfungsi optimal.
Jumlah emisi obligasi ritel pemerintah, baik ORI atau Sukri, sampai Oktober tahun ini telah mencapai Rp 27,68 triliun. Mungkin tidak terlampau signifikan jika dibandingkan dengan dana pihak ketiga perbankan nasional yang sekitar Rp 5.233 triliun. Tapi jika diteliti lagi, data OJK menunjukkan fenomena tergerusnya deposito di bank kecil dan menengah sejak awal tahun. Penurunan jumlah deposito di bank Buku II sebesar Rp 23,9 triliun dibandingkan posisi 2017 hampir mendekati jumlah dana yang diserap pemerintah melalui obligasi ritel. Uniknya, deposito di bank Buku III, Buku IV justru mengalami peningkatan cukup besar. Apakah penurunan deposito ini lantaran pindahnya uang deposan ke surat utang pemerintah tipe ritel, berpindah ke bank besar ataukah ada faktor lain, perlu penelitian lebih lanjut. Penelitian ilmiah di beberapa negara menunjukkan pola crowding out antara pemerintah dan swasta. Luengnaruemitchai dan Ong (2005) misalnya menunjukkan crowding out pasar surat utang oleh emisi government bonds merupakan penghambat utama pembangunan pasar surat utang korporasi yang kuat. Dittmar dan Yuan (2008), membuktikan di Korea Selatan dan Filipina, emisi surat utang pemerintah berdampak pada tingginya yield spread. Itu merujuk ke selisih imbal hasil obligasi korporasi dengan negara. Yield spread yang tinggi tentu akan mengurangi minat korporasi untuk mengeluarkan obligasi dan mengurangi likuiditas pasar surat utang korporasi. Repotnya, sebagian besar korporasi Indonesia akhirnya mengeluarkan obligasi di luar negeri dengan denominasi valuta asing. Ruang investor sempit Menguatnya kurs dollar AS yang luar biasa segera menghantam korporasi besar Indonesia yang memiliki utang valas. Terdapat enam perusahaan publik terbesar di Indonesia yang menderita rugi bersih padahal berhasil mencetak laba operasional. Berdasarkan data Asian Bond Onlines yang dirilis Asian Development Bank (ADB) Indonesia termasuk negara tertinggal dalam pembangunan pasar surat utang korporasi. Pasar surat utang korporasi Indonesia hanya 2,21 % terhadap GDP, bandingkan dengan Malaysia (42%), Thailand (19%) dan Korea Selatan (73%). Kondisi itu disebabkan masih rendahnya pinjaman eksternal yang diakses perusahaan Indonesia yang terlihat dari rasio kredit yang diperoleh korporasi dibandingkan GDP hanya 18%. Surat utang korporasi Indonesia juga banyak berjangka bawah tiga tahun. Padahal, surat utang umumnya digunakan untuk pendanaan proyek jangka panjang. Sistem keuangan Indonesia terlalu bertumpu kepada sektor perbankan hingga rentan terhadap kegagalan sistemik jika terdapat gangguan pada sebagian bank yang ada. Perlu kajian apa penyebab pasar obligasi korporasi Indonesia tidak berkembang. Salah satu faktor penyebab adalah jumlah dana dalam negeri. Dana yang berhasil diakumulasi institusi keuangan Indonesia masih tertinggal. Data World Bank menunjukkan total dana yang dikumpulkan dana pensiun dan asuransi di Indonesia setara US$ 14,5 miliar dan US$ 33 miliar. Bandingkan dengan Malaysia yang mengakumulasi dana setara US$ 207 miliar dan US$ 64 miliar. Kalau dibandingkan terhadap GDP, uang dana pensiun dan asuransi Indonesia hanya setara 1,7% dan 3,9% terhadap GDP Indonesia. Sementara uang di dana pensiun dan asuransi Malaysia setara 62% dan 19% daro GDP Malaysia. Sempitnya investor base di beberapa negara berkembang membuat pasar surat utang korporasi semakin kritis dengan adanya fenomena crowding out dengan pasar surat utang negara. Terdapat beberapa definisi crowding out yang digunakan beberapa kelompok peneliti yang lain, yaitu berkurangnya jumlah uang beredar karena diserap oleh emisi surat utang negara (Xu dan Yan, 2014). Definisi ini lebih banyak muncul pada penelitian makroekonomi yang melihat dampak emisi surat utang negara dan crowding out effect terhadap makro ekonomi suatu negara. Uji empirik atas hipotesis crowding out dalam definisi seperti ini menghadapi masalah dalam pengukuran uang publik yang tersisa setelah diserap sebagian oleh emisi surat utang negara. Sebagian peneliti menggunakan variabel proxy atas sisa dana yang tersedia di kantong publik dengan menggunakan variabel jumlah dana bank yang disalurkan oleh bank dalam bentuk kredit. Terdapat kritik serius atas penggunaan jumlah kredit yang disalurkan perbankan sebagai proxy dari jumlah dana yang tersisa di kantong publik. Karena jumlah kredit perbankan sangat dipengaruhi kondisi makro ekonomi dan siklus bisnis yang ada pada masing-masing periode observasi. Jumlah kredit yang disalurkan perbankan tidak tepat mencerminkan jumlah dana publik yang tersedia setelah adanya emisi surat utang pemerintah (Zhou, 2016). Jumlah kredit yang disalurkan bank tergantung kondisi makroekonomi dan kondisi keuangan dan strategi pendanaan rata-rata perusahaan yang ada. Jumlah kredit yang disalurkan bisa kecil karena kondisi ekonomi yang kurang bergairah. Padahal pada saat yang sama dana publik yang ada sangat besar dan bank kelebihan likuiditas. Kondisi seperti ini yang hampir mirip terjadi di Indonesia.
Crowding out dalam konteks riset makroekonomi berkaitan dengan kebijakan fiskal pemerintah yang bersifat expansionary. Jika kenaikan kebutuhan pemerintah atas dana likuid yang disebabkan adanya kenaikan pengeluaran pemerintah tidak dapat ditutupi oleh penerimaan pajak, maka pemerintah akan mencari dana dari publik dengan cara mengeluarkan surat utang negara. Emisi surat utang negara yang menyedot secara masif dana publik dan sementara pengeluaran pemerintah yang dibiayai hutang tersebut tidak dapat menstimulasi aktivitas ekonomi dan pendapatan masyarakat akan menyebabkan sektor swasta terjebak di dalam kondisi crowded out oleh aksi pemerintah di pasar surat utang. Dalam ilmu ekonomi, crowding out adalah fenomena yang terjadi ketika kebijakan fiskal menyebabkan bunga meningkat, hingga mengurangi investasi korporasi yang membawa lesunya perekonomian.•
Buddi Wibowo Staf Pengajar Pascasarjana Ilmu Manajemen FEUI Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi