Cuaca buruk, petani tembakau merugi



JAKARTA. Tahun 2013 dapat dikatakan bukan sebagai tahun keberuntungan bagi petani tembakau dalam negeri. Musim kemarau basah, dengan intensitas hujan yang tinggi mengakibatkan produksi tembakau pada tahun lalu tidak memuaskan. Bahkan akibat kondisi tersebut, para petani tembakau mengaku rugi lantaran harus melakukan penanaman berkali-kali. "Tahun lalu pada bulan Juni seharusnya sudah tidak ada hujan, tetapi kenyataannya masih tinggi. Tanaman banyak yang mati dan kita bisa tanam hingga tiga kali," kata Abdurrahman, petani tembakau kasturi asal Jember Jawa Timur. Cukup banyak sebenarnya biaya produksi yang harus dikeluarkan petani untuk membudidayakan tembakau. Abdurrahman menghitung, setidaknya dibutuhkan dana hingga Rp 38,5 juta per hektare (ha) mulai dari persiapan, pengolahan, sewa tanah, sampai pemasaran. Abdurrahman merinci, setidaknya untuk setiap hektare lahan tembakau dibutuhkan bibit tembakau hingga 15.000 pohon. Harga bibit tembakau sendiri mencapai Rp 50.000 per 1.000 pohon. Dengan perhitungan tersebut maka untuk kebutuhan bibit saja setiap petani membutuhkan dana sekitar Rp 750.000 per ha. Akibat faktor cuaca yang tidak mendukung tersebut keuntungan yang diterima petani menjadi kurang memuaskan. Abdurrahman bilang, dari total lahan perkebunan tembakau di Jember yang mencapai 20.000 ha, hanya sepertiga dari luas areal yang mengalami keuntungan. Sedangkan sisanya, hanya impas dan mengalami kerugian. Kondisi tersebut juga tidak didukung oleh harga tembakau yang tidak ada perubahan dibandingkan tahun sebelumnya. Rata-rata harga tembakau untuk jenis kasturi mencapai Rp 35.000 per kg, dengan top grade atau kualitas bagus Rp 45.000 per kg. Ditengah banyak hambatan, Abdurrahman mengatakan petani tembakau hingga saat ini masih akan tetap membudidayakan tembakau. Selain faktor pendapatan yang lebih tinggi dibanding komoditas yang lain, cukup sulit mendapatkan jenis tanaman lain yang dapat dikembangkan di lahan tembakau seperti saat ini. Bila dirunut dari sejarahnya, sebenarnya petani telah menanam tembakau sebelum republik ini ada, merubahnya pun tidak mudah, perlu waktu. Biasanya, para petani tembakau lokal telah turun menurun membudidayakan tembakau tersebut. Petani sendiri sebenarnya cukup pintar dalam mengelola usaha perkebunan tembakau ini. Mereka mendasarkan usaha ini dari sisi pasar dan harga. Kalau pasarnya tidak ada atau harganya tidak menguntungkan, pasti tanpa disuruh petani akan beralih ke usaha lain.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Hendra Gunawan