JAKARTA. Cuaca ekstrem dengan curah hujan tinggi menekan produktivitas tanaman hortikultura. Produksi tanaman hortikultura menyusut hingga 20%-30% dibandingkan waktu normal. Bukan hanya itu, kualitas produknya juga ikut menurun karena kadar air yang terlalu tinggi. Sejumlah produk hortikultura yang terimbas cuaca ini antara lain cabai, kentang dan tomat. Sukoco, Koordinator Wilayah Asosiasi Agribisnis Cabai Indonesia (AACI) Jawa Timur mengatakan, curah hujan yang tinggi menyebabkan banyak tanaman cabai membusuk. Otomatis, "Produksi menurun," ungkap Sukoco, Selasa (15/1). Ia mengambil contoh, bila rata-rata produksi cabai merah besar atau cabai keriting 10 ton per hektare (ha), kini produksinya menurun hingga 20% menjadi 8,33 ton per ha.
Sedangkan produktivitas tanaman cabai rawit menyusut hingga 30% dari rata-rata 6 ton-7 ton per ha menjadi 4,62 - 5,38 ton per ha. Areal tanaman cabai besar atau keriting di Jawa Timur 1.500-2.000 ha. Sedangkan areal tanaman cabai rawit tiga kali lipat, yakni sekitar 4.500 ha-6.000 ha. Meski tidak merinci, Sukoco bilang pemasaran produk cabai dari Jawa Timur dijual ke wilayah seperti Tangerang dan Jakarta. Dari Blitar saja pengiriman cabai ke daerah mencapai kurang lebih 30 ton per hari. Sedangkan di daerah lain seperti Banyuwangi dapat memasarkan sebanyak 20 ton hingga 25 ton cabai per hari. Selain cabai, produk hortikultura lain yang mengalami gangguan akibat kondisi hujan dengan intensitas tinggi adalah kentang. Bahkan, sebagian petani kentang yang berada di wilayah dataran rendah terpaksa menunda masa penanaman. "Sebagian petani kentang Dieng menunda melakukan penanaman hingga Maret atau April mendatang," ujar M. Mudasir, Ketua Asosiasi Petani Kentang Dataran Tinggi Dieng. Luas areal kebun kentang di kawasan Dieng mencapai 10.000 ha. Sebanyak 30% dari luas areal tersebut berada di kawasan dataran rendah. Benny Kusbini, Ketua Dewan Hortikultura Nasional mengatakan, cuaca yang ekstrim seperti ini sangat mempengaruhi produk-produk yang tidak tahan lama seperti hortikultura. "Apalagi ditambah dengan distribusi yang tidak lancar," kata Benny. Akibat curah hujan yang tinggi, kualitas produk hortikultura sangat riskan. Bila produk hortikultura dipanen pada saat basah seperti sekarang, maka kualitasnya cenderung menurun, karena lebih cepat membusuk. Para pelaku usaha hortikultura berharap kondisi seperti ini segera berlalu sehingga produktivitas tanaman kembali normal seperti semula. Apalagi permintaan hortikultura terus meningkat saban tahun. Lihat saja, kebutuhan benih hortikultura tahun ini berpotensi naik 10%
year-on-year menjadi 14.300 ton.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Perbenihan hortikultura Indonesia (Hortindo), Afrizal Gindow, mengharapkan kebijakan pemerintah yang memperketat impor hortikultura mendorong para petani memanfaatkan bibit lokal untuk menggenjot produksi. Afrizal mengklaim anggota Hortindo mampu memenuhi 6.500 ton-7.000 ton atau 50% total kebutuhan benih nasional. Selama ini, nilai penjualan benih yang paling tinggi adalah kelompok kubis. Pada tahun lalu, penjualan benih kubis senilai Rp 60 miliar, kemudian benih tomat, benih cabai dan benih buah-buahan masing-masing Rp 30 miliar. Selain memerlukan benih hortikultura yang berkualitas, tantangan lain di bisnis ini adalah persoalan lahan. Luas lahan hortikultura di Indonesia masih minim. Lahan tanam sayuran di Indonesia berkisar 40 m² per kapita. Bandingkan dengan Thailand mencapai 100 m² per kapita. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Sandy Baskoro