Rencana pemerintah memperbesar anggaran belanja untuk infrastruktur tentu harus diimbangi dengan peningkatan penerimaan negara. Nah, salah satu pos yang menanggung beban tersebut adalah cukai. Pemerintah menargetkan penerimaan cukai tahun ini hingga Rp 141,7 triliun. Artinya, ada kenaikan 20,2% dari realisasi tahun lalu yang mencapai Rp 117,9 triliun. Sumber utama penerimaan cukai masih berasal dari industri rokok yang berkontribusi sekitar 80%. Setidaknya ada dua strategi yang digulirkan pemerintah untuk menyedot pendapatan dari cukai rokok. Pertama, menaikkan cukai rokok sebanyak dua kali dalam setahun. Awal tahun ini, tarif cukai sigaret keretek mesin (SKM), sigaret keretek tangan (SKT), dan sigaret putih mesin (SPM) dinaikkan sekitar 8,72%. Pada Juli atau Agustus nanti, tarif cukai rokok akan kembali dinaikkan. Tapi, besarannya belum ditentukan. Berdasarkan informasi yang diperoleh Tabloid KONTAN, persentase kenaikannya tak sebesar awal tahun.
Kedua, merevisi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 20/PMK.04/2015 terkait penundaan pembayaran cukai untuk pengusaha pabrik dan importir barang kena cukai. Selama ini, pabrikan diberi kelonggaran pembayaran cukai selama dua bulan terhitung sejak tanggal dokumen pemesanan pita cukai. Sedangkan bagi importir, penundaan selama sebulan. Dalam beleid yang baru, pemerintah menambahkan satu persyaratan anyar: saat jatuh tempo penundaan melewati tanggal 31 Desember tahun berjalan, pembayaran cukai harus dilakukan paling lama tanggal 31 Desember tahun berjalan terkait. Lewat cara ini, pemerintah bisa memaksimalkan penerimaan cukai rokok tiap tahun. Tentu saja kebijakan tersebut membuat pengusaha gerah lantaran harus memikul beban yang lebih berat. Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) Ismanu Soemiran menilai, pemerintah tidak realistis dalam mematok target. Pasalnya, industri rokok selama ini sudah terjepit oleh kenaikan tarif cukai yang terus-menerus terjadi. Hingga tahun 2009 lalu, ada sekitar 5.000 pabrik rokok yang beroperasi dan mengantongi izin. Kini, tinggal tersisa 800 pabrik yang berizin. Bahkan, dari jumlah itu, cuma 100 pabrik yang beroperasi. Oleh sebab itu, dia yakin, strategi pemerintah meningkatkan penerimaan cukai rokok bakal kontraproduktif. “Jika pemerintah kembali menaikkan tarif cukai, target penerimaan cukai tahun ini tak akan tercapai,” tukas Ismanu. Ia menyodorkan data penerimaan cukai pada dua bulan pertama tahun ini yang cuma Rp 22,55 triliun. Nilai itu hanya setara dengan 69,38% target selama Januari–Februari yang sebesar Rp 32,5 triliun. Penerimaan cukai tersebut juga lebih rendah dari realisasi pada dua bulan pertama tahun lalu yang mencapai Rp 28,66 triliun. Pelaku industri mengklaim pencapaian itu gara-gara kenaikan tarif cukai pada awal tahun ini. Cukai minuman soda Adapun kebijakan baru terkait penundaan pembayaran cukai diyakini bakal memangkas jumlah produsen rokok, terutama produsen skala kecil yang tak punya dukungan keuangan bagus. Pasalnya, pada Desember nanti, pengusaha harus menyediakan dana talangan untuk membayar utang cukai sebelumnya dan pita cukai yang dipesan bulan itu. Sebagai catatan, saat ini tarif cukai rokok berkisar 36,30% hingga 51,87% dari harga jual per batang. Selain menggenjot penerimaan cukai dari rokok, pemerintah juga berencana menambah jenis produk yang dikenai cukai. Salah satunya dengan menggulirkan rencana penerapan cukai minuman bersoda. Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Suahasil Nazara, mengatakan, permintaan kajian dampak minuman bersoda sudah diperoleh dari Kementerian Kesehatan. Hasilnya, terdapat indikasi negatif dari minuman bersoda. Namun, Ketua Asosiasi Industri Minuman Ringan Triyono mempertanyakan validitas kajian tersebut. Apalagi, produk minuman bersoda sudah mengantongi izin dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). “Kandungannya juga tak jauh beda dengan minuman lain, 75% air,” imbuhnya. Selain itu, dia khawatir dampak kebijakan ini terhadap industri karena tarif cukai akan dibebankan ke konsumen. Mengutip hasil kajian Lembaga Penelitian Ekonomi Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) tahun 2013, setiap kenaikan harga 10% akan menurunkan tingkat penjualan 17%. Padahal tingkat konsumsi minuman bersoda di Indonesia masih rendah, yaitu cuma 2,4 liter per orang setiap tahun. Sementara produksinya pada tahun 2013 lalu sekitar 700 juta liter, dengan tingkat pertumbuhan cuma 3%–4% per tahun.
Rencana itu sebenarnya sempat mencuat pada tahun 2012–2013. Pemerintah menyiapkan lima opsi tarif cukai: Rp 1.000 per liter, Rp 2.000, Rp 3.000, Rp 4.000, dan Rp 5.000 per liter. Dari sini negara bisa meraup pendapatan cukai Rp 970 miliar hingga Rp 3,95 triliun. Belakangan, kebijakan ini kandas lantaran kajian dari Kementerian Kesehatan tidak menunjukkan dampak negatif minuman bersoda. Pemerintah pun tak satu suara. Kementerian Perindustrian sejak awal tidak setuju. “Minuman karbonasi itu tidak banyak konsumsinya. Jadi jika dikenai cukai sebenarnya nilainya tidak seberapa,” ujar Faiz Ahmad, Direktur Minuman dan Tembakau Kementerian Perindustrian. Toh, rencana itu dihidupkan lagi tahun ini. Laporan Utama KONTAN No. 26-XIX, 2015 Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi