Cukai naik, emiten rokok nyantai



JAKARTA. Pemerintah kembali menaikkan tarif cukai tembakau per 1 Januari 2015. Direktur Penerimaan dan Peraturan Kepabeanan dan Cukai Kemenkeu Susiwijino Moegiarso menjelaskan, kenaikan  tarif cukai hasil tembakau 8,72% untuk sigaret kretek mesin (SKM), sigaret kretek tangan (SKT) dan sigaret putih mesin (SPM). Sementara segala jenis hasil tembakau  ikut naik 10%.

Peraturan tersebut berpotensi menekan kinerja para emiten rokok. Tapi, para analis menghitung, peraturan baru itu tak akan berpengaruh signifikan bagi produsen rokok.

David N Sutyanto, Analis First Asia Capital, bilang, industri rokok sangat kuat. Meskipun ada berbagai regulasi, seperti kenaikan tarif cukai, pembatasan produksi rokok dan pencantuman gambar seram, industri ini masih eksis mengepul. Bahkan ia menilai, masih adanya potensi bertumbuh.


Rata-rata emiten rokok akan membebankan kenaikan cukai rokok ke konsumen. Nah dengan permintaan yang masih cukup besar. Kenaikan  cukai rokok tersebut tak banyak menganggu kinerja para emiten.

Analis RHB OSK Securities, Willi Sitorus dalam riset pada awal November menuliskan, kenaikan harga jual di tengah kenaikan tarif cukai merupakan langkah tepat. Margin bisa stabil. Terlebih bagi produsen rokok yang memiliki brand equity dan pricing power yang kuat.

Kenaikan harga

Analis Ciptadana Securities Eveline Liauw memproyeksikan, dengan kenaikan tarif itu, para produsen rokok berpeluang menaikkan harga jual antara 7% hingga 9%. Di awal tahun 2015 produk rokok SKM kategori tier I (B) akan terkena kenaikan biaya cukai 16,9%. "Adapun per batang rokok SKM kategori Tier I (B) dijual dengan harga Rp 355," tulis dia dalam riset 9 Desember 2014.

Sedangkan produk rokok SKT Tier III (B) terkena kenaikan biaya cukai 6,2%. Kenaikan tersebut lebih kecil dibandingkan kenaikan tarif cukai pada produk SKM.

Eveline menilai, langkah tersebut untuk mendukung kembali produk SKT yang pertumbuhan penjualannya melambat. Ia mencatat, volume produksi produk rokok SKT saat ini 50 miliar-350 miliar per batang setahun.

Bagi Eveline kenaikan harga tersebut tak akan menurunkan minat beli para konsumen. Sebab konsumen rokok di Indonesia pernah dihadapkan kenaikan harga antara 9% hingga 10%. "Ada katalis positif lain, yakni cuaca yang bersahabat sehingga suplai bahan baku stabil," ujar dia.

Pertumbuhan industri rokok menurut Eveline, didukung data consumer confidence indeks (CCI) Indonesia yang lebih besar ketimbang tahun lalu. Ia menghitung, hingga Oktober 2014, CCI naik menjadi 120,6, lebih besar dibandingkan tahun lalu yang di angka 113. "Hal itu, mengindikasikan optimisme dari konsumen terhadap perekonomian negara," jelas dia.

Terlebih, hampir 36% dari 253 juta jiwa penduduk Indonesia adalah perokok aktif, dengan konsumsi rata-rata mingguan per kapita meningkat 11% menjadi 0,09 pak di tahun 2013.  Artinyam menurut Eveline, pengeluaran cukup tinggi pada rokok.

Karena itu, Eveline masih merekomendasikan, overweight  sektor rokok. Kalau David memprediksikan, tahun ini pertumbuhan industri rokok akan melambat, yakni di bawah 10%.

Ini karena, adanya regulasi yang menghambat pertumbuhan sektor rokok. Sedangkan Willi hanya merekomendasikan buy untuk saham GGRM.          

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Avanty Nurdiana