JAKARTA. Pemerintah berniat menaikkan cukai rokok sebesar 10% pada tahun depan. Hal ini tentu berpotensi memberikan dampak terhadap emiten rokok seperti PT Gudang Garam Tbk (GGRM) dan PT HM Sampoerna Tbk (HMSP). Analis Minna Padi Investama Frederik Rasali bilang, pos keuangan yang paling pertama terkena dampaknya adalah beban pokok, khususnya soal ongkos produksi. Seberapa besar dampaknya, tergantung pada struktur biaya masing-masing emiten. "Tapi, kenaikan 10% di ongkos itu cukup berat," ujar dia kepada KONTAN, Rabu (24/8).
Gambaran sederhananya, misal harga jual rokok Rp 100. Dari harga jual itu, Rp 60 adalah ongkos produksi. Lantaran cukai naik 10%, maka ongkos produksinya menjadi Rp 66. Dari sini, EBITDA produsen rokok setidaknya tergerus sekitar 6%. Tapi, ini bukan berarti sepenuhnya menjadi sentimen negatif bagi emiten rokok. Analis MNC Asset Management Liyanto Sudarso bilang, kenaikan cukai tersebut masih lebih kecil dibandingkan kenaikan tahun ini sebesar 16%. Di samping itu, pemerintah memiliki wacana menurunkan tarif pajak penghasilan (PPh) dari 30% menjadi 17%. Jika wacana ini dikaitkan ke sisi permintaan, diperkirakan ada kenaikan konsumsi rokok, apalagi seiring semakin bertambahnya disposable income konsumen. "Jadi, kecil kemungkinan pendapatan emiten rokok akan tergerus dan semua hal ini membuat saham berbasis rokok masih layak dilirik para investor," ujar Liyanto. Frederik menambahkan, PPh dan cukai memiliki arah yang berbeda. Cukai akan menekan produsen rokok, sementara PPh akan menekan penjualan para pengecer, baik skala warung kelontong, hingga gerai modern seperti Indomaret atau Alfamart. Tapi, baik cukai maupun PPh keduanya sama-sama bisa mempengaruhi harga. Nah, jika sudah berbicara harga di industri rokok, semua sentimen negatif seolah hilang. Sebab, jumlah konsumen rokok sangat besar. Mereka juga memiliki loyalitas terhadap produk rokok. Jadi, permintaan rokok cenderung inelastis terhadap perubahan harga. Kenaikan harga tak serta merta membuat permintaan rokok anjlok. Kecuali, konsumen yang pendapatannya pas-pasan. "Bahasa ekonominya, mereka yang tak memiliki incremental earning," ujar Frederik.