Cukai naik, pabrik rokok kecil gulung tikar



JAKARTA. Kebijakan cukai yang diberlakukan pemerintah dinilai semakin meruntuhkan industri rokok. Selama lima tahun terakhir. Sudah terjadi kenaikan cukai sebesar 16%, mengakibatkan industri rokok banyak yang gulung tikar.

“Data tahun 2009 jumlah pabrik rokok sebanyak 4.900-an pabrik, sekarang tinggal 600-an pabrik,” ujar Sekretaris Jenderal Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) Hasan Aoni Azis dalam diskusi publik “Kebijakan Tarif Cukai yang Rasional, Adil, dan Berorientasi National Interest”.

Mamik Indaryani, Ketua Lembaga Penelitian UMK yang juga menjadi panelis menambahkan,  yang terjadi sekarang ini adalah ketidakpedulian pemerintah, bukan keseimbangan kebijakan. Kebijakan-kebijakan pemerintah yang tercermin dari regulasi yang dihasilkan justru anti tembakau. “Kebijakan itulah yang menggerus industri tembakau,” ujarnya.


Kenaikan cukai tidak hanya membatasi pertumbuhan produksi rokok, namun juga memukul industri rokok kecil. Kenaikan cukai menjadi bagian dari biaya produksi karena itu kenaikan cukai jelas akan mendongkrak harga. Sementara, di sisi lain, rokok yang mereka produksi belum tentu bakal laku semua.  Akibatnya, "Pabrik tutup karena kenaikan tarif cukai yang terjadi setiap tahun," tandasnya. 

Ia menegaskan, kenaikan cukai dengan argumentasi kesehatan sangat tidak adil karena pastinya akan mengorbankan pihak lain yang tidak terakomodasi kepentingannya. Seharusnya, pemerintah berpikir mendorong daya saing industri tembakau bukan memberangus dengan beragam regulasi.

"Industri hasil tembakau juga berkontribusi terhadap pendapatan masyarakat, pengurangan masyarakat miskin, bahkan sebagai warisan turun temurun," ujarnya. 

Peneliti kretek dari Yayasan Indonesia Berdikari, Puthut EA, menambahkan, sejatinya tudingan rokok mengganggu kesehatan juga layak diperdebatkan. Selama ini, publik disuguhi opini adanya penelitian yang menyatakan rokok tidak sehat. Namun, kata Puthut, itu hasil riset di luar negeri, dengan tembakau luar negeri, dan yang diteliti jelas rokok putih. “Karena itu mari kita bikin riset rokok kretek karena ini tidak pernah dilakukan,” ajak Puthut.

Ia meyakinkan, rokok kretek tidak perlu diberangus. Justru harus diperjuangkan sebagai heritage bangsa Indonesia. Menurut dia, kebiasaan mencampur cengkih dan tembakau itu sudah dilakukan masyarakat sejak abad ke 18. Namun memperjuangkan rokok kretek menjadi warisan budaya bangsa juga tidak gampang.

“Pemerintah enggan memutuskan rokok kretek sebagai heritage karena dianggap kontroversial,” keluh Puthut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Hendra Gunawan