Cukai rokok naik, kinerja GGRM tidak batuk



JAKARTA. Tak seperti kabut asap kebakaran hutan, kepulan bisnis industri rokok dalam negeri semakin tipis. Selain terhambat perlambatan ekonomi, prospek industri tersebut bakal terganjal rencana pemerintah menaikkan tarif cukai rokok.

Prospek kelabu itu menjadi tantangan bagi produsen rokok papan atas, PT Gudang Garam Tbk (GGRM). Kinerja keuangan GGRM semester pertama tahun ini menjadi salah satu indikator. Di enam bulan pertama 2015, laba bersih GGRM merosot 11,44% year-on-year (yoy) menjadi Rp 2,40 triliun.

Meski sejumlah tantangan menghadang, sejumlah analis melihat prospek GGRM masih menarik. Emiten ini dinilai masih mampu mengantisipasi kenaikan beban pajak dengan mengerek harga jual. Kementerian Keuangan mengajukan kenaikan penerimaan cukai rokok 7% menjadi Rp 148,85 triliun pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2016. Untuk mencapai target itu, tarif cukai rokok akan naik 23,5%.


Patricia Gabriela, analis Buana Capital, dalam riset pada 18 Seprtember, menilai, kenaikan cukai rokok tahun depan bukan tantangan berat bagi GGRM.

Secara historikal, emiten ini selalu berhasil mengatasi kenaikan beban dengan mendongkrak harga jual ke konsumen. Dia memperkirakan tarif cukai akan naik 15% untuk mencapai target kenaikan penerimaan cukai 7% pada tahun depan.

Patricia melihat, GGRM masih memiliki ruang besar menaikkan harga jual. Sejak awal tahun, harga jual produk GGRM jenis sigaret kretek tangan (SKT) dan sigaret kretek mesin (SKM) masing-masing naik 8% dan 5%-8%, mengantisipasi kenaikan biaya.

"Kenaikan harga ini cukup mengimbangi peningkatan biaya pajak," kata Patricia.

David Nathanael Sutyanto, analis First Asia Capital, menambahkan, kenaikan harga jual tidak lantas menyebabkan volume penjualan emiten rokok turun. Konsumen rokok berbeda dengan konsumen barang konsumsi lain. "Jika sudah merokok, berapapun harga tetap dikonsumsi karena sudah ketergantungan," kata David.

Jika cukai rokok dikerek sampai 20% tahun depan, David melihat, efeknya tak signifikan bagi kinerja GGRM. Dengan menaikkan harga jual rokok, pendapatan perseroan ini bisa tumbuh. Tapi, laba bersih bakal sedikit tertekan. Menurut David, prospek emiten rokok akan terseok jika pemerintah membatasi volume produksi.

Tapi Patricia menilai, pembatasan volume rokok oleh pemerintah lewat roadmap produksi industri hasil tembakau tahun 2015 hingga 2020 di rentang 5%-7,4% hanya berefek kecil terhadap kinerja GGRM. "Industri rokok akan mengatur volume produksi sesuai permintaan," jelas dia.

Patricia memprediksi, pendapatan GGRM tahun ini tumbuh 8,71% (yoy) menjadi Rp 70,86 triliun. Proyeksi itu ditopang kenaikan harga jual dan penurunan harga cengkeh.

Tapi, analis Ciptadana Securities Maula Adini Putri memprediksi prospek GGRM masih lesu pada tahun ini. Maula dan David merekomendasikan buy GGRM dengan target masing-masing Rp 55.000 dan Rp 50.000 per saham. Patricia juga memasang buy GGRM, tapi menurunkan target harga menjadi Rp 50.000. Harga saham GGRM kemarin naik 1% menjadi Rp 42.925 per saham.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie