Currency war jadi risiko baru pasar aset domestik



KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Genderang perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China makin kencang. Hari ini, mata uang yuan China terdepresiasi ke level terendah sejak 2008 yaitu menembus 7 yuan per dollar AS sebagai salah satu bentuk retaliasi atas kenaikan tarif AS terhadap barang-barang China.

Pelemahan mata uang yuan sebesar 1,42% hari ini turut menyeret sejumlah mata uang Asia lainnya seperti won Korea, rupee India, peso Filipina, dan rupiah. Rupiah sore ini ditutup melemah 0,49% ke level Rp 14.255 per dollar AS.

Baca Juga: Hubungan memanas, penjualan mobil Jepang di Korea Selatan anjlok


Tak hanya itu, indeks saham (IHSG) juga terdampar ke zona merah pada level 6.175 atau turun hingga 2,59%. Investor mencatat jual bersih (net sell) sebesar Rp 1,1 triliun dalam satu hari ini.

Ekonom Kepala Ekonom Makro Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro mengatakan, devaluasi mata uang China merupakan upaya Negeri Tirai Bambu tersebut mendorong ekonomi riilnya yang berorientasi ekspor, di tengah tekanan perang dagang.

“Sangat tidak biasa bagi PBOC (bank sentral China) untuk melemahkah mata uang hingga 1% dalam satu hari seperti hari ini,” ujar dia, Senin (5/8).

Baca Juga: Mata uang China anjlok ke level terendah dalam satu dekade, siap perang mata uang?

Pelemahan mata uang yuan China, lanjutnya, akan menyebabkan sentimen risk-off pada Indonesia dalam jangka pendek. Artinya, investor cenderung menghindari aset finansial berisiko dan beralih pada aset aman seperti yen Jepang atau emas.

“Akan ada outflow besar dan itu sudah terlihat dari IHSG hari ini. Yield obligasi Indonesia juga mulai meningkat,” kata Satria, Senin (5/8).

Tekanan terhadap pasar domestik, lanjutnya, belum akan berhenti sampai di sini. Sebab, besar kemungkinan Presiden AS Donald Trump akan melakukan balasan terhadap upaya bank sentral China mendevaluasi mata uangnya.

Baca Juga: Makin panas, BUMN China diminta untuk menangguhkan impor pertanian dari AS

“Rupiah sangat sensitif terhadap sentimen global seperti ini. Kalau ada balasan lagi (dari Trump), tensi tinggi perang dagang ini bisa berlanjut jangka menengah panjang,” tandas Satria.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Noverius Laoli