Libur Idul Fitri yang terlalu panjang boleh jadi bakal berdampak kurang baik bagi sektor dunia usaha kita karena berpotensi menurunkan produktivitas dan daya saing. Maka, bagaimana kalau libur Idul Fitri di negeri ini sebaiknya cukup sehari atau dua hari saja? Pemerintah telah memutuskan menambah cuti bersama liburan Hari Raya Idul Fitri 1439 Hijriah yang diperkirakan jatuh pada tanggal 15 dan 16 Juni 2018 mendatang. Keputusan penambahan cuti bersama libur Lebaran ini dituangkan dalam surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri yang ditandatangani Menteri Agama Lukman Hakim Saifudin, Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Asman Abnur. Apabila digabung dengan libur akhir pekan reguler, dengan penambahan cuti bersama ini, maka libur Hari Raya Lebaran 2018 menjadi total 12 hari. Yakni terhitung mulai mulai 9 Juni hingga 20 Juni yang akan datang, dan sekaligus mencatatkan rekor sebagai libur Idul Fitri terlama dalam sejarah libur resmi sejak Indonesia merdeka.
Kita telah mafhum sejak lama, kendatipun Idul Fitri sejatinya berlangsung hanya sehari, toh libur Lebaran di negeri ini bisa berlangsung beberapa hari. Boleh jadi panjangnya libur Idul Fitri ini untuk memberi kesempatan bagi mereka yang hendak melakoni perjalanan mudik ke kampung halaman untuk merayakan Idul Fitri yang datang cuma setahun sekali dan sekaligus untuk mengurai lalu-lintas selama dan setelah musim mudik Lebaran. Sebagaimana kita maklumi, mudik Lebaran telah menjadi acara kolosal tahunan bagi sebagian warga negeri ini. Saban tahun pula kehebohan mudik selalu muncul dan menjadi salah satu agenda nasional, yang menyedot energi serta ongkos yang tidak kecil serta membuat banyak pihak repot dan sibuk. Aktivitas mudik tampaknya telah menjadi tradisi yang mendarah daging di kalangan masyarakat kita. Bagi kebanyakan orang di negeri ini, sepertinya kurang afdhal, kurang elok, merayakan Hari Raya Lebaran tanpa mudik ke kampung halaman. Faktanya, jauh hari sebelum Lebaran tiba, sebagian masyarakat kita sudah sibuk bersiap untuk mudik. Di antaranya saja, misalnya, mulai memesan tiket kereta api, tiket kapal laut serta pesawat terbang, mem-booking mobil sewaan, hingga membeli sepeda motor secara kredit. Selain itu, momen mudik tidak jarang dijadikan kesempatan untuk menunjukkan berbagai kesuksesan hidup yang telah digapai di kota tempat mereka selama ini merantau. Mudik menjadi semacam arena pameran keberhasilan duniawi. Kalau kita cermati lebih jauh, ajaran Islam sendiri tidak pernah mewajibkan mudik pada saat Hari Idul Fitri. Tidak pula mewajibkan saling bermaaf-maafan pada saat Hari Raya. Sejatinya, mudik untuk bersilaturahmi dengan kerabat atau handai taulan dapat dilakukan kapan saja. Begitu juga untuk memohon maaf, tidak harus menunggu momen Idul Fitri tiba. Oleh karena itu, sesungguhnya tidak perlu pula memberi tambahan libur Idul Fitri. Seperti hari-hari libur umum lainnya, libur Idul Fitri cukup diberlakukan sehari atau dua hari saja. Alangkah baiknya apabila kelar merayakan Idulfitri, hari berikutnya adalah hari kerja biasa -bukan diliburkan seperti yang berlaku selama ini. Mestinya tidak perlu mengistimewakan Idul Fitri dengan jalan menambah jatah hari libur sebelum dan setelah Idul Fitri. Memperpanjang libur Idul Fitri malah membuat bangsa ini terlihat cenderung beretos kerja rendah dan kurang produktif. Padahal, ajaran Islam mengajarkan agar kita tidak malas dan senantiasa produktif. Perintah ini dengan gamblang dinyatakan dalam Al-Quran. "Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (Al-Jumuah: 10). Boros dan konsumtif Kita sepakat bahwa libur memang penting. Tapi, kalau hari libur terlalu banyak , ya tidak baik juga. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) termasuk pihak yang kurang setuju dengan penambahan jumlah cuti bersama Lebaran karena menilai dapat mengurangi produktivitas dan daya saing. Ketua Umum Apindo, Hariyadi Sukamdani, sebagaimana dikutip sejumlah media, menyatakan dengan tambahan cuti bersama tersebut, produktivitas pada sektor dunia usaha bisa ikut terhenti lama lantaran layanan publik dari pemerintah diliburkan saat cuti bersama. Pada saat yang sama, penambahan libur Idul Fitri juga bakal menambah beban finansial pengusaha, khususnya mereka yang harus mengejar target produksi dan pesanan dari mitra bisnis di negara lain. Pasalnya, untuk mengejar target dan pesanan itu, pengusaha pasti meminta karyawannya untuk masuk kerja dengan hitungan lembur selama cuti bersama libur Idul Fitri, yang notabene bayarannya tentu akan lebih mahal.
Di sisi lain, libur Idul Fitri yang panjang cenderung mendorong masyarakat kita kian boros dan konsumtif. Realitanya, sepanjang libur Idul Fitri, kita mengeluarkan lebih banyak uang untuk hal-hal yang sesungguhnya tidak atau kurang kita butuhkan. Tingkat konsumtivisme masyarakat yang tinggi menjelang dan selama Idul Fitri memang bagus untuk menggerakkan roda perekonomian. Namun, itu hanya temporer dan dampak positifnya hanya dirasakan oleh sebagian kalangan saja. Mudharatnya malah lebih banyak. Selain mengerek inflasi, tingginya tingkat konsumsi masyarakat menjelang dan selama Idulfitri, umpamanya, selalu memicu meningkatnya produksi sampah. Amati saja jalur mudik, tempat-tempat wisata atau masing-masing rumahtangga selama liburan Lebaran, maka dapat dengan mudah kita saksikan melonjaknya produksi sampah hingga beberapa kali lipat. Belum lagi meningkatnya polusi suara dan polusi udara di jalanan -- yang dihasilkan dari aneka jenis kendaraan yang digunakan oleh mereka yang sedang mudik dan menikmati liburan Idul Fitri . Tentu saja, upaya untuk menjadikan libur Idul Fitri hanya satu hari atau dua hari saja tidak bakal mudah, karena sejak lama kita telah dibiasakan menikmati libur Idul Fitri yang lebih panjang. Pasti banyak kalangan yang bakal berkeberatan, tidak setuju, bahkan melakukan protes keras apabila libur Lebaran dilangsungkan cukup hanya sehari atau dua hari saja. Namun, sesungguhnya ini perlu dilakukan apabila kita ingin menjadikan bangsa ini jauh lebih produktif, jauh lebih kompetitif dan juga tidak semakin boros dan konsumtif. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi