Daerah Penghasil Batubara Harus Mulai Lakukan Transformasi Ekonomi



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Institute for Essential Services Reform (IESR), lembaga think tank bidang energi dan lingkungan, merilis laporan mengenai potensi dampak transisi energi terhadap daerah penghasil batubara di Indonesia. 

Laporan berjudul Just Transition in Indonesia’s Coal Producing Regions, Case Studies Paser and Muara Enim ini menemukan bahwa diversifikasi dan transformasi ekonomi harus segera direncanakan untuk  mengantisipasi dampak sosial dan ekonomi dari penurunan industri batubara. Hal ini seiring dengan rencana pengakhiran operasi PLTU dan meningkatnya komitmen transisi energi dan mitigasi emisi dari  negara-negara yang jadi tujuan ekspor batubara.

IESR merekomendasi  pemerintah pusat dan daerah untuk menyadari potensi dampak transisi energi pada ekonomi dan pembangunan daerah-daerah penghasil batubara  dan mulai merencanakan transformasi ekonomi secepatnya di daerah penghasil batubara tersebut.


Studi ini mengambil lokasi penelitian di Kabupaten Paser Provinsi Kalimantan Timur dan Kabupaten Muara Enim Provinsi Sumatera Selatan. Penelitian tersebut  merekomendasikan untuk memanfaatkan Dana Bagi Hasil (DBH) batubara dan  program CSR untuk merencanakan dan mendukung proses transformasi ekonomi,  serta perluasan akses dan partisipasi publik untuk transisi yang berkeadilan.  

DBH batubara menyumbang 20% dari total anggaran pendapatan pemerintah Muara Enim pada tahun 2023, dan 27% dari total pendapatan pemerintah Paser pada tahun 2013-2020.

“Perencanaan transformasi ekonomi pasca tambang batubara perlu mengedepankan kegiatan-kegiatan ekonomi yang lebih banyak memberikan multiplier effect (efek berganda) ke masyarakat lokal. Selain itu, perlu diperhatikan juga dampak potensi penurunan produksi batubara pada sektor ekonomi informal yang selama ini tidak terekam dalam analisis ekonomi makro,” jelas Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, dalam keterangan resminya, Rabu (6/9).

Baca Juga: Insentif Tak Cukup Genjot Ekosistem Kendaraan Listrik

Dia bilang, kajian ini juga menemukan meski industri pertambangan batubara rata-rata  menyumbang 50% dan 70% terhadap PDRB selama sepuluh tahun terakhir di Muara Enim dan Paser, tapi nilai ekonomi yang besar tersebut tidak berkontribusi signifikan pada pendapatan pekerja industri batubara. Sebanyak 78% dari nilai tambah menjadi surplus perusahaan dan  hanya sekitar 20% dari nilai tambah dialokasikan untuk pekerja.

Selain itu, Julius Christian, periset utama kajian dan sekaligus Manajer Riset IESR mengatakan industri pertambangan batubara menimbulkan dampak sosial dan lingkungan yang tidak sedikit pada masyarakat di sekitarnya, misalnya degradasi kualitas udara dan air, perubahan sumber penghidupan masyarakat, ketimpangan ekonomi, serta meningkatnya konsumerisme dan pencari rente,

Menurut dia, akibat perbedaan kepentingan, pengetahuan, dan akses informasi, masing-masing pihak di daerah menyikapi tren transisi energi ini dengan perspektif yang beragam. Perusahaan batubara, misalnya, lebih menyadari risiko transisi energi terhadap bisnis mereka dibandingkan pemerintah dan masyarakat awam.

Martha Jesica, Analis Sosial dan Ekonomi IESR menambahkan, pemerinta saat ini, termasuk pemerintah daerah, mulai melakukan berbagai inisiatif transformasi ekonomi. Namun, masyarakat lokal justru lebih skeptikal terhadap potensi penurunan batubara karena mereka melihat peningkatan produksi beberapa waktu belakangan. 

Dia melihat perubahan perspektif juga tengah berlangsung di masyarakat dan perusahaan industri batubara. Masyarakat mulai memiliki visi untuk diversifikasi ekonomi dan perusahaan batubara mulai mengembangkan bisnis di bidang lain. Ia berharap pemerintah dan berbagai pemangku kepentingan dapat mendorong kesadaran yang lebih luas dan menginisiasi perubahan struktural terhadap upaya transformasi ekonomi.

Adapun rekomendasi IESR dalam laporan terbarunya merekomendasikan beberapa poin untuk dilakukan dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan di daerah penghasil batubara  Pertama, perencanaan diversifikasi dan transformasi ekonomi yang menyeluruh dengan melibatkan para pemangku kepentingan dan partisipasi masyarakat. Kedua, menggunakan dana DBH dan program CSR untuk membiayai proses transformasi ekonomi yang mampu menarik lebih banyak investasi ke sektor ekonomi berkelanjutan. 

Ketiga, memperluas akses terhadap pendidikan dan pelatihan untuk mempersiapkan tenaga kerja yang berdaya saing di sektor yang berkelanjutan serta meningkatkan literasi keuangan bagi masyarakat. Keempat, meningkatkan partisipasi seluruh elemen masyarakat, terutama kelompok rentan, dalam perencanaan dan pembangunan daerahnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dina Hutauruk