Daerah tidak patuhi mandatory spending, ini sanksinya



KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Alokasi belanja transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) semakin bertambah dari tahun ke tahun. Namun, ini belum diikuti oleh kepatuhan daerah membelanjakan dana tersebut untuk pelayanan publik.

Mandatory spending ialah kewajiban alokasi belanja yang telah diatur oleh undang-undang. Belanja wajib tersebut terdiri dari alokasi belanja pendidikan sebesar 20%, belanja kesehatan sebesar 10%, belanja infrastruktur sebesar 25% dari dana transfer umum (DTU), dan alokasi dana desa sebesar 10% dari DTU.

Sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 50 Tahun 2017 yang terakhir diubah dengan PMK Nomor 225 Tahun 2017 tentang Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Dana Desa, pemerintah dapat menjatuhkan sanksi terhadap daerah-daerah yang tidak memenuhi kewajiban alokasi mandatory spending, terutama untuk infrastruktur. Sanksi yang dimaksud adalah penundaan dan/atau pemotongan dana alokasi umum (DAU) atau dana bagi hasil (DBH) bagi daerah tersebut.


Selain sanksi bagi pelanggaran ketentuan belanja wajib infrastruktur, Kemkeu juga memantau pelaksanaan belanja daerah dan menerapkan sanksi (punishment) lain untuk mendorong percepatan realisasi APBD. Dimulai dari sanksi penundaan penyaluran DAU bagi pemda yang terlambat menyampaikan peraturan daerah (perda) APBD sesuai dengan ketentuan PP 56/2005 dan PMK 4/2011.

PMK 112/2017 tentang Pengelolaan TKDD juga menyatakan, penyaluran transfer ke daerah terutama dana alokasi khusus (DAK) dan dana desa dilaksanakan berdasarkan kinerja penyerapan dana dan capaian output kegiatan dari daerah tersebut. Apabila DAK dan Dana Desa yang telah disalurkan belum diserap optimal sesuai ketentuan dan rencana output, penyaluran DAK dan dana desa periode selanjutnya tidak akan dilakukan.

Begitu pun dengan ketentuan konversi penyaluran DBH dan/atau DAU dalam bentuk nontunai (SBN) oleh pemerintah bagi daerah yang memiliki posisi kas tidak wajar sesuai dengan PMK 18/2017. Tujuannya agar pemda segera melaksanakan proyek fisik sejak awal tahun sehingga realisasi anggaran meningkat dan posisi dana simpanan pemda di perbankan cenderung turun.

Pemda juga wajib melaporkan posisi kas bulanan, perkiraan belanja operasi, belanja modal, dan transfer bagi hasil pendapatan dan transfer bantuan keuangan untuk 12 bulan, serta ringkasan realisasi APBD bulanan kepada pemerintah pusat. Jika data tidak disampaikan, Menkeu dapat menunda penyaluran DAU atau DBH paling besar 50% dari nilainya.

Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kemkeu Astera Prima memastikan, sanksi-sanksi tersebut berjalan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Namun, sebelumnya pemerintah akan memberi peringatan dan pembinaan kepada pemda yang belum memenuhi kewajiban.

“Jika sudah diberikan pembinaan dan diingatkan belum juga memenuhi, daerah tersebut akan dikenai sanksi dengan tetap memperhatikan kemampuan daerah dalam menjalankan operasionalnya,” ujar Prima kepada Kontan, Minggu (16/6).

Kemkeu, menurut Prima, selalu melakukan analisa terhadap data-data yang dilaporkan oleh pemda secara periodik. Pemerintah, khususnya Ditjen Perimbangan Keuangan, kemudian memberikan pendapat terkait realisasi belanja di masing-masing pemda.

Prima menyadari, kapasitas sumber daya manusia (SDM) menjadi salah satu faktor penting dalam proses akselerasi belanja wajib daerah. Oleh karena itu, pemerintah berupaya terlibat mendorong peningkatan SDM di daerah di antaranya melalui proses bimbingan dan konsultasi.

“Kami beri bimbingan berupa internship dan secondment bagi daerah daerah tertentu yang masih sangat membutuhkan peningkatan kapasitas SDM dengan bekerja sama dengan daerah yang relatif sudah baik dalam pengelolaan keuangan daerahnya,” tutur Prima.

Dengan begitu, diharapkan kepatuhan pemda dalam menyerap belanja wajib untuk pelayanan publik makin meningkat. Untuk kepatuhan daerah dalam memenuhi mandatory spending infrastruktur, misalnya, diharapkan bisa mencapai 64,9% pada tahun 2019.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Azis Husaini