JAKARTA. Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan meluruskan pemberitaan yang sebelumnya menyatakan bahwa nilai pembelian PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) sudah pasti ditentukan lewat jalur arbitrase. Pasalnya, hingga berita ini dilansir, Indonesia masih menunggu sikap Jepang atas penawaran yang diberikan. "Pilihannya, setuju atau tidak setuju. Nah, kalau tidak setuju berarti kemungkinan akan arbitrase," kata Dahlan kepada Kompas.com, Selasa petang (5/11/2013). Pernyataan Dahlan ini sedikit berbeda dengan Menperin MS Hidayat, yang sebelumnya menuturkan sesuai perjanjian, seluruh aset PT Inalum telah menjadi milik pemerintah Indonesia per hari Jumat (1/10/2013). Sementara itu untuk masalah harga pengambilalihan akan diselesaikan melalui arbritrase Internasional Center for Settlement of Investment Disputes (ICSID) seperti diatur dalam perjanjian. "Per hari ini seluruh aset PT Inalum sudah kembali ke Indonesia. Jadi Kementerian BUMN punya aset baru, kata Hidayat seusai rapat bersama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Kantor Presiden, Jakarta, Jumat ( 1/10/2013 ). Sebagaimana diketahui, setelah 30 tahun berjalan dengan mayoritas saham Nippon Asahan Alumina (NAA), Indonesia ingin mengambil alih Inalum dengan tawaran sebesar 558 juta dollar AS. Angka tersebut merupakan taksiran nilai aset Inalum per 31 Oktober 2013 oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Sementara dari audit per 31 Maret 2013, nilai Inalum sebesar 453 juta dollar AS. Penawaran tersebut juga sesuai dengan anggaran yang disetujui Dewan Perwakilan Rakyat sebesar maksimal Rp 7 triliun. Sementara pihak Jepang menginginkan harga akuisisi sebesar 626 juta dollar AS, berdasarkan hasil perhitungan revaluasi aset setelah krisis 1998. "Posisi kita menunggu apakah kita sudah boleh bayar sesuai tawaran kita," ujar Dahlan. Lebih lanjut, mantan Direktur Utama PLN itu mengungkapkan, tim negosiator Indonesia tak bisa menaikkan penawaran lantaran terikat dengan hasil audit BPKP. "Ini karena pihak kita itu pemerintah yang tidak mudah menaikkan tawaran seperti swasta. Kalau kita menawar di atas angka audit BPKP kita bisa dianggap korupsi," pungkas Dahlan. (Estu Suryowati/Kompas.com)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Dahlan: Inalum belum pasti dibawa ke arbitrase
JAKARTA. Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan meluruskan pemberitaan yang sebelumnya menyatakan bahwa nilai pembelian PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) sudah pasti ditentukan lewat jalur arbitrase. Pasalnya, hingga berita ini dilansir, Indonesia masih menunggu sikap Jepang atas penawaran yang diberikan. "Pilihannya, setuju atau tidak setuju. Nah, kalau tidak setuju berarti kemungkinan akan arbitrase," kata Dahlan kepada Kompas.com, Selasa petang (5/11/2013). Pernyataan Dahlan ini sedikit berbeda dengan Menperin MS Hidayat, yang sebelumnya menuturkan sesuai perjanjian, seluruh aset PT Inalum telah menjadi milik pemerintah Indonesia per hari Jumat (1/10/2013). Sementara itu untuk masalah harga pengambilalihan akan diselesaikan melalui arbritrase Internasional Center for Settlement of Investment Disputes (ICSID) seperti diatur dalam perjanjian. "Per hari ini seluruh aset PT Inalum sudah kembali ke Indonesia. Jadi Kementerian BUMN punya aset baru, kata Hidayat seusai rapat bersama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Kantor Presiden, Jakarta, Jumat ( 1/10/2013 ). Sebagaimana diketahui, setelah 30 tahun berjalan dengan mayoritas saham Nippon Asahan Alumina (NAA), Indonesia ingin mengambil alih Inalum dengan tawaran sebesar 558 juta dollar AS. Angka tersebut merupakan taksiran nilai aset Inalum per 31 Oktober 2013 oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Sementara dari audit per 31 Maret 2013, nilai Inalum sebesar 453 juta dollar AS. Penawaran tersebut juga sesuai dengan anggaran yang disetujui Dewan Perwakilan Rakyat sebesar maksimal Rp 7 triliun. Sementara pihak Jepang menginginkan harga akuisisi sebesar 626 juta dollar AS, berdasarkan hasil perhitungan revaluasi aset setelah krisis 1998. "Posisi kita menunggu apakah kita sudah boleh bayar sesuai tawaran kita," ujar Dahlan. Lebih lanjut, mantan Direktur Utama PLN itu mengungkapkan, tim negosiator Indonesia tak bisa menaikkan penawaran lantaran terikat dengan hasil audit BPKP. "Ini karena pihak kita itu pemerintah yang tidak mudah menaikkan tawaran seperti swasta. Kalau kita menawar di atas angka audit BPKP kita bisa dianggap korupsi," pungkas Dahlan. (Estu Suryowati/Kompas.com)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News