KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Setelah tertekan selama perdagangan pekan lalu, rupiah mulai bergerak datar (
sideways). Pergerakan datar rupiah terlihat sejak akhir pekan lalu. Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengamati, rupiah diperdagangkan datar pada akhir pekan lalu yang menguat tipis 0,03% menjadi 15.820 per dolar AS pada penutupan Jumat (29/1). Pendorong utama tren
sideways rupiah ini disinyalir merupakan sinyal beragam dari indikator perekonomian Amerika, yang diikuti oleh meredanya sentimen ketidakpastian politik di Indonesia.
Josua menjelaskan, dolar AS diperdagangkan beragam terhadap mata uang G-10 pada akhir pekan lalu, terutama karena sinyal beragam dari data ekonomi AS. Dolar AS diperdagangkan lebih lemah terhadap euro dan franc Swiss, namun menguat terhadap sterling, dollar Australia, dan yen Jepang.
Baca Juga: Begini Dampak Pelemahan Rupiah Terhadap Kinerja Emiten Pergerakan dolar AS seiring indikator inflasi acuan The Fed, PCE Deflator pada Desember 2023 sebesar 2,6%
year on year (YoY), yang tidak berubah dibandingkan bulan sebelumnya. Namun, PCE Core Deflator pada bulan Desember turun menjadi 2,9% dari 3,2% YoY, lebih rendah dari ekspektasi sebesar 3,0%. “Data PCE Deflator menyiratkan bahwa tekanan inflasi dari komponen-komponen inti mereda lebih cepat dari yang diantisipasi, sehingga meningkatkan kemungkinan penurunan suku bunga agresif oleh The Fed pada tahun ini,” kata Josua kepada Kontan.co.id, Senin (29/1). Josua melanjutkan, di tengah perlambatan inflasi, US Personal Spending pada bulan Desember 2023 meningkat sebesar 0,7%
month on month (MoM), lebih tinggi dari periode sebelumnya sebesar 0,4% MoM, dan lebih tinggi dari ekspektasi sebesar 0,5% MoM. Ini mencerminkan permintaan konsumen yang kuat di Amerika Serikat. Alhasil, indeks dolar AS (DXY) turun 0,14% menjadi 103,43 pada akhir sesi Jumat (29/1), namun
yield US Treasury (UST) 10 tahun naik 2 bps menjadi 4,14%. The Greenback gagal meneruskan tren kenaikan pekan sebelumnya yang melonjak seiring aksi jual besar-besaran di pasar obligasi global, dan data Produk Domestik Bruto (PDB) yang lebih kuat dari perkiraan. Dari domestik, Josua melihat bahwa rupiah terdepresiasi sekitar 1,30%
week to week di pekan lalu karena meningkatnya ketidakpastian politik menjelang pemilu 2024 pada 14 Februari mendatang. Namun, sentimen ketidakpastian politik saat ini dianggap perlahan mereda. Josua turut melihat tren pergerakan datar Rupiah mendukung tren beragam pada obligasi acuan IDR. Obligasi bertenor rendah seperti tenor 5 tahun dan 10 tahun mencatat tren penurunan
yield, sedangkan tenor panjang cenderung stagnan.
Baca Juga: Dampak Stimulus China Bagi Mata Uang Rupiah Masih Perlu Diamati Volume perdagangan obligasi pemerintah mencatat rata-rata Rp 15,70 triliun pada pekan lalu, lebih rendah dibandingkan volume minggu sebelumnya yang sebesar Rp 16,97 triliun.
Dengan tren rupiah bergerak
sideways tersebut, Josua memperkirakan rupiah dalam jangka pendek akan berada di rentang Rp 15.800 – Rp 15.875 per dolar AS. Mengutip Bloomberg, rupiah spot terpantau menguat tipis 0,09% ke level harga Rp 15.810 per dolar AS di perdagangan Senin (29/1). Sedangkan, rupiah jisdor BI hanya menguat 0,02% ke level Rp 15.825 per dolar AS. Menurut Josua, Bank Indonesia (BI) kemungkinan akan melakukan stabilisasi melalui
triple intervention (intervensi di pasar valas pada transaksi spot, Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF), dan Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder dalam rangka menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tendi Mahadi