Dampak beleid baru perkebunan



JAKARTA. Sektor perkebunan kedatangan beleid Peraturan Menteri Pertanian No 98/2013 tentang Izin Usaha Perkebunan yang diteken September 2013. Beleid ini mengatur beberapa poin krusial.Pertama adalah keharusan integrasi hulu dan hilir di industri perkebunan. Kedua, pabrik pengolahan harus memenuhi unsur, minimal menggunakan bahan baku dari kebun sendiri serta kewajiban melepas saham pabrik pengolahan itu, minimum 30%, kepada masyarakat secara bertahap selama 10 tahun.Poin ketiga adalah kewajiban membangun kebun plasma bagi petani, minimal 20% dari luas lahan kebun milik perusahaan. Dan, keempat, pembatasan luas maksimal lahan perkebunan yang dimiliki oleh satu grup usaha.Analis Samuel Sekuritas Joseph Pangaribuan menilai, peraturan baru itu bisa berdampak positif, terutama soal pembatasan lahan yang ujung-ujungnya berdampak pada pergerakan harga komoditas. Sebab, peraturan itu mengatur luas maksimal perkebunan kelapa sawit oleh satu grup sebesar 100.000 hektare (ha). Jika melebihi batas ini, grup tersebut wajib melepas kembali.Namun, aturan tersebut tidak berlaku bagi konglomerasi sawit saat ini, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), koperasi, dan perusahaan terbuka (emiten). Menurut Joseph, pemerintah mengeluarkan aturan itu untuk mencegah kartel lahan oleh swasta yang tak melantai di bursa saham (non listed company), seiring kian menipisnya area potensial.Catatan Joseph, saat ini jumlah lahan perkebunan kelapa sawit milik swasta non-listed sekitar 2,5 juta ha, setara 32% dari total lahan garapan kelapa sawit di Indonesia. “Oleh karena itu, pembatasan ini berpotensi untuk menurunkan pertumbuhan supply CPO di masa yang akan datang sehingga dapat menaikkan harga CPO,” tutur Joseph.Analis MNC Securities Dian Agustina bilang, kewajiban membangun kebun plasma tak akan berpengaruh bagi emiten besar, seperti PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI) dan PT PP London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP). “Karena porsi kebun plasma mereka sudah banyak,” ujarnya kepada KONTAN, Jumat (18/10).Catatan Joseph dalam risetnya, Jumat (8/10), AALI memiliki luas lahan plasma 60.370 ha atau 22,11% dari total luas perkebunannya. Sedangkan, LSIP memiliki 32.320 ha, yang setara 27,47%. Selanjutnya, PT BW Plantation Tbk (BWPT) dengan porsi 10,13%, PT Dharma Satya Nusantara Tbk (DSNG) 14,72% dan PT Austindo Nusantara Jaya Tbk (ANJT) yang seluruh lahannya berstatus lahan inti.Emiten yang porsi kebun plasmanya belum sesuai dengan aturan akan mengalami pembengkakan biaya. "Karena mereka harus membayar petani,” ujar Dian. Selain itu, karena perusahaan membeli bahan baku dari petani, marginnya akan sedikit turun.Dari dalam negeri, lanjut Dian, harga CPO bakal tertolong oleh peningkatan penggunaan biodiesel serta naiknya kebutuhan CPO untuk minyak kemasan. Pemerintah telah mendorong produk CPO sebagai produk ramah lingkungan di konferensi APEC beberapa waktu terakhir.Di sektor perkebunan, Dian sangat merekomendasikan saham AALI dan LSIP. “AALI kuat secara fundamental dan memiliki lahan terbesar kedua,” ujarnya. Sedangkan, sisi positif LSIP terletak pada harga saham yang relatif murah, memiliki luas lahan terbesar ketiga, serta posisi utang yang minim. Dian memberikan rekomendasi beli AALI dengan target harga Rp 21.000 per saham dan beli bagi LSIP dengan target harga Rp 1.700.Sementara, Joseph masih memberi catatan mengenai implementasi Permen tersebut di lapangan kelak. Dari sejumlah emiten perkebunan yang Joseph cermati, dia lebih merekomendasikan jual saham LSIP, SGRO, dan SIMP. Untuk saham AALI, Joseph saat ini lebih memilih posisi  hold.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Yuwono Triatmodjo