KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rupiah diprediksi cenderung stabil jelang Pemilu 2024. Hal ini dinilai dari dampak dinamika politik yang cenderung lebih terbatas. Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, dalam empat gelaran Pemilu terakhir terdapat kecenderungan pelemahan nilai tukar rupiah di sela Pemilu legislatif dan Presiden. Terkecuali pada pemilu 2009, yang justru mencatatkan tren penguatan. Josua menilai pelemahan rupiah di periode itu kemungkinan dipengaruhi oleh dinamika politik di antara sesi tersebut, sehingga ketidakpastian di pasar keuangan domestik meningkat.
Baca Juga: Rupiah Cenderung Stabil Jelang Pemilu 2024 "Dinamika tersebut di antara lain terkait dengan penentuan Capres-Cawapres, utamanya pada 2004 dan 2014," jelasnya kepada Kontan.co.id, Senin (11/9). Pada tahun 2009 sendiri, penguatan rupiah cenderung dipengaruhi oleh kebijakan QE Fed, sehingga mendorong arus modal masuk investor asing yang mendorong apresiasi rupiah. Sementara itu, di tahun 2019 pun, meskipun sempat melemah cukup tajam tetapi rupiah pulih dengan segera. "Dari kondisi pemilu sebelumnya tersebut, terlihat bahwa dinamika politik penentuan Capres cenderung mendorong pelemahan nilai tukar rupiah," paparnya. Namun demikian, melihat tren dari rupiah saat ini dampak dinamika politik cenderung lebih terbatas dibandingkan dengan tren pada 2004 dan 2009. Terbatasnya dampak pemilu disebabkan oleh kuatnya sentimen global sejak 2022 terhadap nilai tukar rupiah, terutama terkait dengan arah kebijakan Fed dan harga komoditas global.
Baca Juga: Jelang Rilis Data Inflasi AS, Rupiah Diprediksi Lanjut Tertekan pada Selasa (12/9) Rupiah pun hingga saat ini bukan merupakan mata uang Asia dengan depresiasi terdalam sepanjang kuartal II 2023 dan kuartal III 2023. Berbeda dengan tahun 2004 dan 2009 di bulan Maret-Juli. "Melihat sentimen saat ini yang sedang mengemuka, kami meyakini bahwa pergerakan nilai tukar rupiah hingga akhir 2023 justru bergantung pada sentimen global, dan bukan dari sentimen domestik terkait dengan Pemilu," lanjutnya. Dilihat dari tren sentimen global, rupiah bersama dengan mata uang Asia lainnya berpotensi menguat terhadap dolar AS, terutama ketika Fed sudah memberikan sinyal untuk mempertahankan suku bunga. Selain dari sisi tersebut, dengan masuknya DHE dari aturan pemerintah rupiah juga diperkirakan cenderung lebih stabil ke depannya.
"Salah satu mata uang yang berpotensi menguat tajam di jangka pendek di antaranya adalah Thailand Baht, seiring dengan semakin tingginya wisatawan yang berkunjug, serta mulai stabilnya kondisi politik di negara tersebut," imbuhnya. Sebagai informasi, nilai tukar rupiah di kurs tengah Bank Indonesia (BI) kembali tak berdaya di awal pekan ini. Senin (11/9), rupiah Jisdor berada di level Rp 15.352 per dolar AS. Ini membuat rupiah Jisdor melemah 0,07% dibanding Jumat (8/9) yang berada di Rp 15.341 per dolar AS. Sejalan, rupiah spot juga ditutup melemah tipis 0,01% ke Rp 15.330 per dolar AS. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto