KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah dinilai perlu mengambil langkah antisipasi terkait potensi lonjakan impor minyak mentah dan Bahan Bakar Minyak (BBM) seiring kondisi geopolitik global khususnya di Timur Tengah. Sejumlah konflik yang belakangan terjadi dikhawatirkan terus mengerek harga minyak mentah dunia menembus level US$ 100 per barel. Kepala Center of Food, Energy, and Sustainable Development dari INDEF, Abra Talattov mengatakan, jika kondisi ini terus berlanjut bukan tidak mungkin lonjakan harga minyak mentah akan terjadi. Pemerintah diminta tetap waspada terlebih saat ini tren produksi minyak nasional terus mengalami penurunan sementara volume konsumsi BBM masyarakat terus meningkat.
"Realisasi impor BBM kita tahun lalu secara nilai tumbuh 12,9% . Harga minyak mentah berpotensi menuju level US$ 100 dolar per barel di tengah risiko geopolitik terutama di Timur Tengah itu memang saya kira pemerintah harus hati-hati juga melihat risiko peningkatan baik volume maupun nilai importasi BBM ditambah faktor ketiga yaitu nilai tukar rupiah," kata Abra kepada Kontan.co.id, Minggu (21/4). Abra melanjutkan, pelemahan nilai tukar rupiah yang telah melampaui asumsi dalam APBN berpotensi menambah beban negara. Jika kemudian volume impor minyak mentah maupun BBM terus meningkat dibarengi dengan kenaikan harga minyak mentah maka bukan tidak mungkin akan dilakukan penyesuaian hara jual BBM Subsidi oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT Pertamina. Kondisi ini menjadi semakin mengkhawatirkan di tengah tren kebijakan BBM Subsidi yang masih bersifat terbuka. "Bisa jadi terjadi peralihan konsumen dari BBM nonsubsidi ke BBM subsidi, ini akan menambah beban terutama dengan skema subsidi yang belum tertutup atau
targeted," tegas Abra.
Baca Juga: Global Tak Menentu, Target Investasi Rp 1.906 Triliun di 2025 Masih Realistis? Abra menilai, pada saat ini sangat relevan jika pemerintah segera mengambil langkah reformasi subsidi energi salah satunya dengan mempercepat revisi Peraturan Presiden Nomor 191/2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran BBM. Abra menjelaskan, dengan tren peningkatan harga minyak yang dibarengi pelemahan nilai tukar Rupiah saat ini, maka ada potensi pembengkakan anggaran subsidi energi dan kompensasi. Menurutnya, ada potensi penambahan dana kompensasi dan subsidi energi mencapai Rp 106 triliun jika Indonesian Crude Price (ICP) mencapai US$ 100 per barel serta kurs Rp 15.000 per dolar AS. Artinya, setiap kenaikan ICP sebesar US$ 1 dengan asumsi kurs Rp 15.000 maka pemerintah harus merogoh kocek tambahan sebesar Rp 5,3 triliun. Nilai ini bisa makin membengkak jika ICP mencapai level US$ 100 per barel dan kurs sampai akhir tahun mencapai kisaran Rp 16.000. Jika demikian maka besaran tambahan anggaran mencapai Rp 7,8 triliun untuk setiap kenaikan ICP sebesar US$ 1.
Baca Juga: Rekor Impor Minyak China pada Maret, Terbesar Masih dari Rusia Sebagai gambaran, tahun ini total tambahan biaya subsidi energi dan kompensasi bisa mencapai Rp 156,5 triliun. Nilai ini belum termasuk risiko peningkatan konsumsi BBM dan LPG bersubsidi. "Dengan asumsi, ICP sebesar US$ 100 per barel dan kurs Rp 16.000, jika kuota jebol 10%, potensi tambahan subsidi dan kompensasi bisa Rp 194,7 triliun," kata Abra. Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan volume impor minyak mentah dan BBM saat ini mencapai 840 ribu barel per hari (bph). "Kita impor
crude kurang lebih 240 ribu bph dari berbagai negara, ada Arab Saudi, Nigeria. Kemudian kita juga impor BBM ekuivalen kurang lebih 600 ribu bph, sumbernya dari Kilang Singapura, Malaysia dan India. Karena mungkin itu paling kompetitif ya dalam menawarkan harga BBM-nya," ujar Arifin di Kantor Direktorat Jenderal Migas Kementerian ESDM, Jumat (19/4). Arifin memastikan, pemerintah juga mengantisipasi suplai minyak mentah untuk kilang-kilang di tiga negara tersebut untuk tetap menjaga pasokan impor BBM. Pasalnya, konflik geopolitik yang terjadi dikhawatirkan turut mempengaruhi suplai minyak mentah ke kilang-kilang yang menjadi sumber impor BBM Indonesia.
Baca Juga: Ini Kata Pengamat Indef Soal Dampak Memanasnya Konflik Timur Tengah Sementara itu, untuk menjaga pasokan minyak mentah, Pemerintah Indonesia juga telah memetakan sejumlah pasar alternatif seperti Afrika dan Amerika Latin. Ketua Komite Investasi Asosiasi Perusahaan Migas (Aspermigas), Moshe Rizal menjelaskan, saat ini belum ada peningkatan kapasitas pengolahan BBM di kilang-kilang dalam negeri. Selain itu, pemerintah dinilai perlu membuka diri terhadap peluang investasi sektor hulu migas untuk mengerek produksi minyak nasional. "Sedangkan permintaan di dalam negeri ini terus meningkat karena kita juga makin tumbuh industrinya, (sementara) produktivitas menurun. Pemerintah perlu memperhatikan bagaimana meningkatkan produksi di hulu dan tidak hanya berfokus pada gas bumi," jelas Moshe kepada Kontan, Minggu (21/4). Moshe menjelaskan, Pemerintah Indonesia bersama Pertamina harus membuka diri untuk peluang investasi migas dalam negeri dengan menggandeng mitra internasional. Pemerintah pun didorong untuk berani memberikan penawaran yang lebih menarik.
Baca Juga: Harga Minyak Ditutup Menguat Tipis Usai Iran Meremehkan Laporan Serangan Israel Sementara itu, Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas Hudi Suryodipuro mengatakan, tren harga minyak umumnya tidak berdampak langsung pada investasi hulu migas yang bersifat jangka menengah dan panjang. "Namun momentum kenaikan ini akan direspons oleh perusahaan minyak dimanapun melalui aktivitas yang berdampak dalam jangka pendek, seperti mempercepat kegiatan yang sudah masuk rencana kerja tahun berjalan, atau identifikasi potensi tambahan kegiatan
workover dan stimulasi yang dapat meningkatkan produksi," jelas Hudi ketika dihubungi Kontan, Minggu (21/4). Hudi menjelaskan, dengan terkereknya harga minyak maka proyek-proyek hulu migas akan menjadi lebih ekonomis. Hudi memastikan, SKK Migas akan berfokus mendorong sejumlah rencana kerja yang sudah ditargetkan pada tahun ini dapat terlaksana di tengah tren harga minyak mentah yang meningkat. Kontan mencatat, lifting minyak pada tahun 2023 tercatat sebesar 605,5 ribu BOPD atau belum mencapai target yang ditetapkan dalam APBN 2023 ditetapkan sebesar 660 ribu BOPD dan WP&B sebesar 621 ribu BOPD.
Adapun, pada tahun ini target lifting minyak dalam APBN sebanyak 635 BOPD, sementara target lifting minyak dalam Work Program and Budget (WP&B) yang disetujui oleh para kontraktor yaitu Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) sebesar 596 BOPD. Sementara itu, pada tahun 2023, angka realisasi Impor BBM adalah 26,66 juta KL. Sementara, angka kebutuhan BBM merupakan hasil penjualan BBM Jenis BBM Umum (JBU), Jenis BBM Tertentu (JBT) dan Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) jumlahnya sebesar 80,29 juta KL. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati