Dampak Krisis Demografi China: Pendapatan Turun, Utang Naik



KONTAN.CO.ID - BEIJING. Penyusutan populasi China di tahun 2022 memberikan tantangan baru bagi raksasa ekonomi dunia tersebut. China kini dihadapkan pada potensi kekurangan tenaga kerja yang bisa berujung pada penurunan pendapatan negara.

Biro Statistik Nasional China pada hari Selasa (17/1) melaporkan bahwa populasi China di tahun 2022 turun sekitar 850.000 jiwa menjadi 1,41175 miliar jiwa.

Penurunan itu jadi yang tertinggi sejak tahun 1961, tahun terakhir China mengalami krisis Kelaparan Hebat (Great Famine) yang sangat legendaris.


Dalam jangka panjang, pakar demografi PBB melihat populasi China akan menyusut hingga 109 juta pada tahun 2050, lebih dari tiga kali lipat dari perkiraan tahun 2019.

Tingkat kelahiran China tahun lalu hanya 6,77 kelahiran per 1.000 orang, turun dari 7,52 kelahiran pada tahun 2021, tingkat kelahiran terendah dalam catatan.

Baca Juga: Populasi China Menyusut untuk Pertama Kalinya dalam Enam Dekade

Dampak Krisis Demografi China

Krisis demografi China secara perlahan akan memengaruhi pertumbuhan ekonomi negara itu. Bahkan secara luas bisa berdampak pada ekonomi global.

China diprediksi akan menua tanpa sempat menjadi kaya lagi. Kekurangan populasi yang ada di usia produktif membuat aktivitas produksi terhambat.

Terhambatnya kegiatan ekonomi itu jelas akan memperlambat pertumbuhan ekonomi China karena pendapatan penduduk dan sektor bisnis menurun.

Jika terus berlanjut, utang pemerintah juga akan meningkat karena masih harus menjamin biaya kesehatan dan kesejahteraan orang-orang di usia tua.

Baca Juga: PBB: Populasi Penduduk China Dapat Berkurang Hingga 109 Juta pada Tahun 2050

Yi Fuxian, pakar demografi China, mengatakan bahwa prospek demografis dan ekonomi China jauh lebih suram dari yang diperkirakan. Kondisi ini nantinya akan menyenggol sektor pertahanan hingga kebijakan luar negeri.

"Prospek demografis dan ekonomi China jauh lebih suram dari yang diperkirakan. China harus menyesuaikan kebijakan sosial, ekonomi, pertahanan, dan luar negerinya," kata Yi kepada Reuters.

Yi juga melihat bahwa penyusutan tenaga kerja negara serta penurunan kinerja manufaktur akan membuat harga-harga komoditas melonjak. Kondisi ini juga akan dialami Amerika Serikat dan Eropa yang banyak mendatangkan produk dari China.

Di sisi lain, Kang Yi, kepala Biro Statistik Nasional, mengatakan bahwa pasokan tenaga kerja secara keseluruhan masih melebihi permintaan.