KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Para perwira militer Niger pada Jumat (28/7) lalu mengumumkan bahwa mereka telah mengambil alih kekuasaan atau kudeta. Mereka menyatakan telah menangguhkan konstitusi dan membubarkan semua lembaga negara setelah berhasil menggulingkan Presiden Mohamed Bazoum. Kudeta di Niger negara di Afrika Barat yang berbatasan dengan Nigeria, ini tentu akan mempengaruhi pasokan uranium yang menjadi basis produksi nuklir di negara-negara maju.
Sebab menurut World Nuclear Association (WNA) Niger dikenal sebagai produsen uranium terbesar ke-7 di dunia. Logam radioaktif ini adalah bahan bakar paling banyak digunakan untuk energi nuklir. Selain itu, uranium juga digunakan untuk pengobatan kanker, propulsi kapal laut, dan senjata nuklir. Laporan ini mengungkapkan detail mengenai cadangan uranium dan tambang di Niger:
Baca Juga: Sekjen PBB Minta Negara Kaya Lebih Banyak Berinvestasi di Afrika Produksi Uranium Menurut data WNA Niger, yang memiliki bijih uranium dengan kualitas tertinggi di Afrika, memproduksi 2.020 metrik ton uranium pada tahun 2022, sekitar 5% dari total produksi tambang uranium dunia. Angka ini menurun dari 2.991 ton pada tahun 2020. Tiga produsen terbesar Uranium di dunia adalah Kazakhstan, Kanada, dan Namibia. Niger memiliki satu operasi tambang besar di wilayah utara yang dioperasikan oleh perusahaan milik negara Prancis bernama Orano. Selain itu, ada juga tambang besar lainnya yang ditutup pada tahun 2021, dan satu tambang sedang dalam tahap pengembangan. Orano menyatakan bahwa meskipun terjadi "kejadian keamanan" yang sedang berlangsung, operasi penambangan tetap berlanjut. Orano menyebut pembangkit listrik tenaga nuklir Prancis memperoleh kurang dari 10% uranium mereka dari Niger.
Tambang Arlit
Beberapa situs tambang uranium terbuka terletak di dekat kota Arlit, di bagian barat laut Niger, dan dioperasikan oleh Somair, kemitraan antara Orano dan perusahaan milik negara Niger, Sopamin.
Tambang Akouta
Tambang uranium bawah tanah ini terletak di dekat Akokan, di bagian barat daya Arlit. Sejak tahun 1978 hingga Maret 2021, tambang ini telah menghasilkan 75.000 metrik ton uranium sebelum akhirnya ditutup karena cadangan bijihnya telah habis. Tambang ini dimiliki oleh Cominak, dengan kepemilikan saham sebesar 59% oleh Orano, 31% oleh Sopamin, dan 10% oleh perusahaan milik negara Spanyol, Enusa.
Imouraren
Cadangan uranium di lokasi ini terletak sekitar 50 mil di sebelah selatan Arlit dan dianggap sebagai salah satu cadangan terbesar di dunia, menurut Orano. Pada tahun 2009, Orano telah diberikan izin operasi tambang, namun pekerjaan untuk mengoperasikan tambang ini ditangguhkan pada tahun 2014 karena adanya penurunan harga uranium.
Dampak pasokan
Kudeta militer di Niger ini mengundang keprihatinan terkait stabilitas produksi dan operasi tambang uranium di Nigeris. Dampak kudeta terhadap produksi dan ekspor uranium negeri ini masih belum jelas dan sangat tergantung pada langkah dan kebijakan yang diambil oleh kepemimpinan militer baru serta tanggapan dari komunitas internasional. Ketegangan semakin memanas di Niger beberapa hari setelah kudeta militer menggulingkan pemerintahan yang terpilih dalam pemilu secara demokratis. Koalisi negara-negara Afrika Barat mengeluarkan ultimatum pada hari Minggu kepada penguasa kudeta Niger. Mereka mengancam untuk melakukan intervensi militer ke Niger, apabila Presiden terguling, Mohamed Bazoum, tidak dikembalikan ke tampuk kekuasaan sebelum 6 Agustus 2023 akhir pekan ini. Negara-negara anggota blok regional, Economic Community of West African States (ECOWAS), telah memutuskan hubungan dengan Nigeria dan menutup perbatasan darat dan udara dengan negara tersebut. Meskipun ECOWAS sebelumnya cenderung diam ketika kudeta menggantikan pemimpin sipil di Burkina Faso dan Mali, krisis di Niger tampaknya menandai fase berbeda dalam politik regional. "Di sinilah junta di Niamey (ibu kota Niger) mungkin telah salah menghitung. Mereka mungkin mengira ECOWAS akan merespons dengan lemah seperti di Mali dan Burkina Faso," kata Alex Vines, kepala program Afrika di Chatham House, sebuah lembaga pemikir berbasis di London, kepada Financial Times. "Tapi ECOWAS telah menarik garis batas. Para perencana pertahanan telah ditugaskan untuk merencanakan intervensi - ini bukan sekadar gertakan." Situasi semakin memanas ketika rezim Mali dan Burkina Faso juga mengeluarkan pernyataan bersama pada hari Senin, memperingatkan bahwa intervensi ECOWAS di Niger bisa menyebabkan respons militer dari negara mereka. Sementara itu, negara-negara Barat, terutama Prancis dan Amerika Serikat, berhati-hati dalam menanggapi situasi ini untuk tidak memancing sentimen anti-Barat yang meningkat sehubungan dengan kudeta di Burkina Faso dan Mali. Pemerintahan Amerika Serikat Joe Biden tampaknya enggan untuk secara resmi menyebut apa yang terjadi di Niger sebagai "kudeta,". Karena penentuan tersebut akan menyebabkan penghentian bantuan keamanan yang diberikan oleh Washington kepada negara tersebut yang dianggap sebagai benteng melawan ancaman kelompok Islam garis keras, dan mengurangi pengaruh Rusia di wilayah tersebut. Para jenderal yang berplot kudeta nampaknya bersikukuh, meskipun belum jelas apakah seluruh aparat militer Niger sepenuhnya mendukung kudeta. Pada akhir pekan lalu, para pendukung mereka melakukan demonstrasi di depan Kedutaan Besar Prancis di ibu kota Niamey. Mereka melemparkan batu ke dalam kompleks dan berusaha membakarnya sebelum akhirnya digagalkan oleh pasukan keamanan. Beberapa demonstran bahkan membawa bendera Rusia dan menunjukkan dukungan kepada Presiden Rusia, Vladimir Putin. Niger sebelumnya dianggap sebagai benteng demokrasi, sebelum akhirnya terjadi kudeta.
Seiring meningkatnya retorika anti-Prancis, junta militer mengumumkan penghentian ekspor uranium ke Prancis. Bahan ore radioaktif ini adalah salah satu ekspor utama dari negeri miskin ini dan telah menarik perhatian dunia selama beberapa tahun terakhir, terutama ketika intelijen yang meragukan tentang kemungkinan pembelian 500 ton uranium "yellowcake" Niger oleh Irak pada tahun 2003 menjadi bagian dari alasan Amerika Serikat untuk meluncurkan invasi "preemptive" ke Irak untuk menggulingkan Saddam Husein. Sebagai produsen uranium terbesar ke-7 di dunia Niger memiliki bijih uranium dengan kualitas tertinggi di Afrika, dan merupakan salah satu pengirim utama uranium ke Eropa. Prancis, sebagai negara yang pernah menjajah negara ini, adalah salah satu importir utama uranium Nigeria, yang digunakan dalam industri nuklir sipil Prancis yang besar. Pada hari Senin (31/7), pernyataan dari Kementerian Luar Negeri Prancis menyatakan bahwa pengurangan pasokan uranium dari Niger hanya akan memiliki dampak minimal dengan berdalih saat ini pasokan uranium ke Prancis sangat beragam sumbernya. Namun, beberapa analis menyarankan bahwa situasi buntu ini dapat berdampak pada keputusan negara-negara Eropa untuk mempertimbangkan tindakan lebih lanjut terhadap Rusia, yang saat ini juga menjadi salah satu eksportir uranium terbesar di dunia. "Ini bisa berdampak pada tingkat Uni Eropa. Uranium - dan energi nuklir pada umumnya - masih belum tunduk pada sanksi," kata Phuc-Vinh Nguyen, ahli energi di Institut Jacques Delors di Paris, seperti dilansir oleh Politico.
"Jika situasi di Niger memburuk, ini tentu akan menyulitkan penerapan sanksi terhadap uranium Rusia dalam jangka pendek." Perusahaan energi nuklir milik negara Prancis, Orano, memiliki saham besar di tiga tambang uranium di Niger, namun hanya satu yang beroperasi. Lokasi tambang terletak jauh di bagian utara Niamey, lebih dekat dengan perbatasan berdebu dengan Aljazair. Operasional ambang-tambang ini lebih rentan terhadap militan Islam daripada para jenderal kudeta. Ekspedisi kolonial Prancis dalam pencarian tembaga pada akhir tahun 1950-an menghasilkan penemuan uranium dan Orano, yang sebelumnya dikenal sebagai Areva, telah beroperasi di negara ini selama sebagian besar setengah abad terakhir. Di wilayah yang sangat peka terhadap warisan kolonial Prancis, ekstraksi uranium menjadi masalah yang membara. Pengawas lingkungan telah mendokumentasikan selama bertahun-tahun insiden kelalaian dan penyalahgunaan, di mana tingkat limbah radioaktif yang berbahaya dibiarkan di antara penduduk lokal yang tinggal di dekat tambang. Awal tahun ini, para penyelidik berbasis di Prancis menemukan bahwa 20 juta ton limbah yang ditinggalkan di dekat tambang yang baru saja habis persediaannya menyebar radon, gas radioaktif yang berpotensi mematikan, mengkontaminasi air tanah dan membahayakan lebih dari 100.000 orang yang tinggal di komunitas-komunitas terdekat. Sepuluh tahun yang lalu, pemerintah Niger terlibat dalam negosiasi panjang dengan Orano atas kontrak baru, dengan ketidakpuasan atas pengurangan royalti yang diberikan oleh perusahaan Prancis kepada Niger.
Oxfam, kelompok advokasi internasional, menyoroti bentrokan tersebut sebagai perjuangan "David melawan Goliath" antara salah satu negara termiskin di dunia dan Orano. Perundingan tersebut juga dikelilingi oleh tuduhan korupsi dalam beberapa tahun berikutnya.
Sekarang, mengingat ketidakpastian situasi saat ini, pertanyaan baru muncul tentang industri uranium di Niger. Apa yang akan terjadi pada kepentingan Prancis? Apakah negara-negara lain - terutama Rusia - akan menemukan akomodasi oportunis dengan junta dan mendapatkan konsesi dalam sumber daya alam? Sebelum kudeta, Niger telah menjelajahi opsi investasi energi, termasuk pengembangan tambang uranium baru, dengan China. Namun, mengingat kehadiran perusahaan-perusahaan Prancis yang kuat di Burkina Faso dan Mali, meskipun junta militer di sana tidak bersimpati dengan Paris, kemungkinan kecil ada perubahan dalam status quo saat ini. "Dalam sebagian besar kudeta di Niger, sektor uranium tidak pernah benar-benar dipertanyakan," kata Emmanuel Grégoire, direktur emeritus penelitian di Institut Penelitian untuk Pembangunan, sebuah lembaga pemerintah Prancis, kepada Le Monde. Setelah kudeta pada tahun 1974 yang menggulingkan pemerintahan pertama negara pasca-kolonial, Grégoire mengatakan bahwa "perundingan terjadi karena Prancis telah memberlakukan kontrak yang merugikan secara finansial bagi warga Niger, tetapi tidak ada pertanyaan untuk mengusir mereka."
Editor: Syamsul Azhar