Dampak larangan ekspor rotan mulai terasa di sentra rotan



JAKARTA. Dampak kebijakan Kementerian Perdagangan menghentikan ekspor rotan sejak 1 Januari 2012 ini mulai terasa. Kalangan industri rotan mengaku kesulitan mendapatkan bahan baku rotan di pasaran. Imbasnya,harga rotan pun langsung melonjak.

Ketua Umum Asosiasi Mebel dan Kerajinan Rotan Indonesia (AMKRI) Hatta Sinatra, mengatakan harga bahan baku rotan di pasaran saat ini berkisar Rp 12.000 per kg. Atau sudah naik hampir tiga kali lipat.

Dampaknya industri dan kerajinan mebel lokal sulit memproduksi mebel rotan yang layak secara harga. Padahal, paska larangan ekspor ini, kalangan industri mengaku senang.


Lantaran di pasaran saat ini mulai jarang terlihat mebel rotan dari luar negeri, terutama China yang merupakan pesaing terberat industri rotan dalam negeri. "Jadi, jelas bisa menurunkan daya saing industri rotan dalam negeri," kata Hatta.

Rupanya, pasokan bahan baku rotan yang tersendat ini akibat produsen penghasil rotan mulai menghentikan pencarian rotan. Salah satunya contohnya adalah para pemungut rotan di Palu, Sulawesi Tengah sudah tidak lagi mencari rotan di hutan-hutan sejak beleid ini mulai berlaku Januari ini.

Padahal, Palu terkenal sebagai salah satu penghasil rotan. Saban tahun, daerah ini mampu menghasilkan rotan sebanyak 70.000 ton.

Penghentian pembelian tersebut, karena sejak ada larangan ekspor tersebut, beberapa jenis rotan saja yang laku. Rotan-rotan yang laku tersebut antara lain rotan-rotan yang di Sulawesi dikenal dengan nama rotan batang, rotan lambang dan nokok. Rotan-rotan tersebut adalah rotan yang banyak digunakan di industri mebel di Jawa, khususnya di Cirebon. Sementara jenis-jenis lain tidak lagi ada yang membeli.

Sekjen Asosiasi Pengusaha Rotan Indonesia (APRI) Lisman Sumardjani berkata pemungut rotan tidak mau lagi memungut rotan. "Silahkan cek, sekarang tidak ada lagi rotan di Palu," kata Lisman, Minggu (8/1).

Dia bilang kondisi serupa juga terjadi Katingan, Kalimantan Tengah. Menurut Lisman, harga jual rotan ke industri di dalam negeri lebih rendah dibandingkan harga ekspor.

Menurut data APRI, eksportir bisa memperoleh harga US$1.700 hingga US$ 1.800 per ton atau sekitar Rp 15.300 hingga Rp 16.200 per kilogram. Maka, kata Lisman, kondisi yang terjadi di sentra-sentra penghasil rotan saat ini bisa mengancam pembangunan industri mebel di Luar Jawa, termasuk di sentra-sentra penghasil rotan sendiri.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Edy Can