Dampak mini stimulus Eropa bagi Indonesia



Mata investor dunia kini memperhatikan gerak gerik European Central Bank (ECB). Bagaimana tidak, setelah memangkas tiga bunga acuannya, bank sentral Eropa ini akan menggelontorkan stimulus untuk mendorong perekonomian dan melawan deflasi.

Kamis (4/9) lalu, secara mengejutkan, Presiden ECB Mario Draghi memangkas bunga utama menjadi 0,05% dan deposito menjadi minus 0,2%. Langkah ini diambil setelah inflasi kawasan euro ini melambat ke 0,3% di bulan Agustus dari bulan sebelumnya 0,4%. Pada kuartal kedua, negara-negara Uni Eropa seperti Jerman mencatat kontraksi ekonomi 0,2%, Prancis stagnan, dan Italia kembali terjun ke resesi.

“Sebagian besar langkah ini dilakukan untuk mendorong likuiditas kredit perbankan dan ke sektor riil,” kata Draghi, usai pengumuman pemangkasan bunga di Frankfurt. Dia bilang, detail stimulus berupa pembelian asset backed securities (ABS) akan diumumkan pada rapat penentuan bunga bulan Oktober.


Pasar berspekulasi, besaran quantitative easing yang dikucurkan ECB mencapai € 700 miliar sampai € 1 triliun.

Sentimen ke pasar

Selain memperhatikan Eropa, investor juga masih mengawasi sikap The Federal Reserve. Bank sentral Amerika Serikat (AS) ini diperkirakan mayoritas pasar, akan menutup program quantitative easing-nya pada Oktober nanti.

Sejak awal tahun ini, AS setiap bulan terus mengurangi stimulus sebesar US$ 10 miliar per bulan, dan nanti US$ 15 miliar pada Oktober, mengakhiri program quantitative easing yang awalnya ditetapkan sebesar US$ 85 miliar.

Yang lebih penting lagi, langkah The Fed menaikkan bunga sebagai langkah mengetatkan kembali kebijakan moneternya, seiring perbaikan ekonomi. Chair Federal Reserve Janet Yellen bilang akan memberi waktu sejak penutupan program quantitative easing sebelum menaikkan bunga. Pasar berspekulasi kenaikan bunga baru dilakukan pertengahan tahun depan, sebagian mewaspadai kenaikan yang lebih cepat dari perkiraan.  

Ekonom Bank Central Asia David Sumual mengatakan, langkah ECB menunjukkan perekonomian kawasan Uni Eropa masih lemah.  Kondisi ini menyebabkan AS mengerem langkahnya tak terlalu agresif. “Ketika QE AS ditutup, gejolak pasar akan terjadi. Tapi sikap ECB dan kondisi di Eropa akan menahan agresivitas AS,” kata David, Jumat (5/9).

Likuiditas melimpah

Sejak AS menggelontorkan stimulus dari krisis ekonomi tahun 2008, dana panas mengalir ke pasar emerging. Nah, ketika ECB merilis stimulus, diharapkan pasar global dilimpahi likuiditas.

Tapi, jangan terlalu senang dulu. Ekonom memperkirakan, Indonesia mungkin tak kebagian banyak dana panas euro.

Menurut Lana Soelistianingsih, Ekonom Samuel Aset Manajemen, dana tersebut akan masuk ke Asia terutama ke China dan India. Apalagi, China kian membuka diri pada investor asing. “Indonesia dapat cipratannya saja,” kata Lana.  Tapi, aksi ECB akan menjadi sentimen positif bagi pasar.

Ada beberapa alasan Indonesia bukan menjadi prioritas. Pertama, pasar keuangan dalam negeri yang kurang dalam dan kurang bervariasi. Sehingga, ibaratnya tempayan disiram air segentong, pasar modal tak memadai menampung likuiditas melimpah di pasar.

Mengutip data Bloomberg Jumat, kapitalisasi pasar saham Tanah Air hanya Rp 4.845,8 triliun, meski Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) member gain cukup tinggi sebesar 22% dari akhir tahun lalu hingga kemarin.

Pilihan saham bluechip stagnan dan penambahan saham baru lewat initial public offering (IPO) tak banyak. Selama semester I-2014, hanya ada 18 perusahaan IPO dengan nilai emisi Rp 4,89 triliun. Padahal, target BEI 30 perusahaan IPO.

Menurut Lana, dana asing lebih suka bertengger di obligasi. Apalagi, pemerintah setiap tahun merilis utang baru. Lihat saja, per 2 September lalu, asing menguasai Rp 437,35 triliun surat berharga negara (SBN), tumbuh di atas 50% dari kepemilikan ketika tanggal yang sama di tahun lalu, Rp 283,92 triliun. Kini porsi kepemilikan asing naik menjadi 37% dari SBN yang dapat diperdagangkan, naik dari 30% di tahun lalu.

Alasan kedua, kurs cadangan devisa berdenominasi dollar AS menjadikan ekonomi Indonesia lebih dipengaruhi dollar AS. Peluang dana dari Eropa mampir ke Tanah Air dalam bentuk carry trade memang ada. “Tapi, kondisi Eropa hanya membantu agar outflow atau dana asing yang keluar dari sini tidak sebesar yang diperkirakan,” kata David.

Nah, David bilang, ada baiknya pemerintah dan Bank Indonesia memperbaiki sistem keuangan, memperkuat bantalan cadangan devisa, sampai memperdalam pasar keuangan agar prospek pasar Tanah Air makin baik. Defisit juga tetap menjadi risiko fiskal juga tetap harus dipangkas. Dengan begitu, dana asing yang biasanya mencari instrumen investasi jangka pendek di sini, lebih betah berlama-lama.

Lana menambahkan, agar Bursa Efek Indonesia dan regulator membantu penguatan investor domestik. Dengan begitu, pasar lebih stabil terhadap dana asing yang bolak-balik.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Edy Can