KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan sebanyak 9,4 juta penduduk kelas menengah di Indonesia mengalami penurunan status ke kelompok aspiring middle class selama periode 2019-2024. Akibatnya, jumlah kelas menengah turun menjadi 47,85 juta orang pada 2024, dan berdampak pada pelemahan daya beli. Lantas bagaimana dampaknya kepada industri fintech peer to peer (P2P) lending? Menanggapi hal ini, Group CEO & Co-Founder Akseleran, Ivan Nikolas Tambunan, mengatakan bahwa belum melihat korelasinya secara langsung. Pasalnya, fokus utama perusahaan berada di segmen pinjaman produktif. Namun, menurut dia hal tersebut bisa saja berdampak pada penurunan kemampuan bayar debitur.
"Kendati demikian, pandangan kami yang utama itu adalah dilakukannya assesment pinjaman secara prudent. Bila ini dilakukan, maka kredit macet bisa terjaga. Dan ini yang terus menjadi salah satu fokus utama kami," kata Ivan kepada Kontan.co.id, Kamis (26/9). Baca Juga: AFPI Proyeksikan Kolaborasi Perbankan dengan Fintech Lending Bakal Makin Semarak Terkait Non Performing Financing (NPF), Ivan menyampaikan bahwa kondisinya hingga Agustus 2024, masih stabil di bawah 1% secara year on year (YoY). Sedangkan untuk tingkat risiko kredit macet secara agregat atau TWP90 Akseleran hingga Agustus 2024 sebesar 0,24%. Ia menyebutkan, sampai akhir Agustus 2024, penyaluran pinjaman Akseleran tahun ini di sekitar Rp 2 triliun. Angka ini sedikit turun 5% jika dibandingkan dengan periode yang sama di tahun lalu. Lebih lanjut, dia menyebutkan strategi yang dilakukan Akseleran untuk mempertahankan TWP90 yang rendah itu salah satunya yaitu dengan melakukan assessment pinjaman yang prudent.