KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rencana pemerintah untuk menurunkan tarif tol bagi angkutan logistik mendapat apresiasi. Namun, masih banyak kalangan meragukan efektifitas penurunan tarif tol terhadap ongkos logistik di Tanah Air. William Henley, praktisi ekonomi dari Indosterling Capital mengatakan, penurunan tarif tol tak akan berdampak signifikan terhadap turunnya ongkos logistik. "Banyak faktor yang mempengaruhi turunnya ongkos logistik," kata William, Senin (2/4). Salah satunya dari sisi efektivitas jalan tol terhadap ongkos logistik semakin berkurang. Bukan semata-mata karena tarif yang mahal. Indikator lain dapat dilihat dari tingkat kemacetan yang semakin parah. Misalnya, di ruas jalan tol yang menghubungkan Jakarta-Cikampek.
Badan Pengatur Jalan Tol mencatat V/C Ratio (rasio volume kendaraan yang masuk berbanding kapasitas jalan yang tersedia) sudah berada di angka 1. Sementara BPJT menyebut angka ideal V/C Ratio, yaitu 0,8, agar kecepatan kendaraan sesuai standar pelayanan minimal. "Ini patut disayangkan. Apalagi, jalan tol Jakarta-Cikampek merupakan urat nadi utama perekonomian Indonesia," ujar William. Jika melihat data volume kendaraan 2015, rata-rata perjalanan kendaraan dari dan menuju Jakarta melalui tol tersebut sekitar 590.000 kendaraan per hari. Berbagai rekayasa yang dilakukan oleh aparat lintas gabungan dari Kementerian Perhubungan maupun Polri, termasuk sistem ganjil-genap, perlahan mulai berdampak positif. Akan tetapi, diperlukan rekayasa-rekayasa dalam bentuk lain sehingga penurunan kemacetan menjadi lebih terasa. Kemacetan yang semakin parah tentu membuat mobilitas angkutan semakin terbatas. Dalam kondisi lancar, sebuah kendaraan bisa melayani pengangkutan barang sebanyak tiga atau empat kali, misalnya. "Kemacetan membuat jumlah perjalanan berkurang hingga hanya dua atau bahkan satu kali. Sangat merugikan," tandas William. Efektivitas penurunan tarif tol untuk transportasi logistik juga berpotensi terasa hambar mengingat masalah klasik dalam sektor ini. Yaitu, maraknya pungutan liar alias pungli. Asosiasi Perusahaan Jasa Ekspres Indonesia mencatat ongkos logistik mencakup 24% dari biaya barang. Namun, kata William, biaya ini jadi lebih tinggi karena perilaku oknum-oknum di lapangan yang membebani ongkos pengiriman. Asosiasi juga mengklaim pungli membuat pengiriman barang dari Cina ke Jakarta lebih murah dari pada dari ibu kota ke Padang. Dalam menyelesaikan permasalahan pungli, Presiden Joko Widodo sudah membentuk Satuan Tugas Pemberantasan Pungutan Liar atau Saber Pungli pada Oktober 2016. Sebagai ketua adalah Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Wiranto. Polri menjadi ujung tombak dari Saber Pungli. William menuturkan, dari data statistik, selama setahun saja, Polri sudah melakukan 1.075 operasi tangkap tangan dari skala kecil hingga skala besar. Jika didetailkan, sebagian besar sudah dilimpahkan ke kejaksaan untuk kemudian diproses di pengadilan. Vonis demi vonis kepada pelaku pun sudah dijatuhkan. Namun, kerja-kerja Saber Pungli seolah tak berarti selama pungli sudah mendarah daging. Diperlukan upaya yang lebih tegas kepada oknum pelaku pungli. Sanksi pemecatan hingga tuntutan hukuman dengan masa hukuman yang lama bisa jadi pertimbangan. Imbauan Presiden setelah polisi melakukan OTT terhadap sejumlah pegawai Kementerian Perhubungan yang diduga menerima suap terkait izin perkapalan, patut direnungkan.
Pada akhirnya, ikhtiar pemerintah untuk mendongkrak kinerja sektor logistik, termasuk dengan menurunkan tarif tol, patut diapresiasi. Namun, seperti dijelaskan, semua ini tak akan bermakna apa-apa selama tidak diikuti langkah-langkah lain. Pemberantasan pungli harus jadi fokus utama ke depan. "Kinerja Saber Pungli harus semakin ditingkatkan. Jangan hanya semangat di awal," kata William. Apabila semua sesuai rencana, maka diharapkan ongkos logistik di Tanah Air terus turun. Efek selanjutnya adalah investasi bisa mengalir deras ke dalam negeri di tengah situasi ekonomi global yang penuh ketidakpastian. Peningkatan investasi tentu dapat membuat kinerja perekonomian Indonesia semakin lebih baik. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Havid Vebri