Dampak perang dagang oleh Trump: Neraca perdagangan kita meradang (1)



Tidak seperti biasa, akhir pekan lalu, kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian mendadak ramai. Sejumlah menteri dan pejabat setingkat menteri silih berganti memasuki gedung yang berada di daerah Lapangan Banteng, Jakarta, itu.

Minggu (8/7) petang, mereka menggelar rapat koordinasi (rakor) dadakan. Soalnya, rakor  ini tidak diagendakan sebelumnya. Agenda itu baru muncul pada Sabtu (7/7) malam.

Tentu, rakor dadakan tersebut tak berlangsung seperti biasanya. Jauh dari kesan formal, beberapa menteri yang hadir nampak berbusana kasual.


Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, contohnya, tampil lebih santai mengenakan kemeja lengan panjang berwarna putih motif garis hitam dipadu celana panjang hitam. Biasanya, Retno selalu tampil formal dalam balutan jas saat bekerja.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga mengenakan baju batik nonformal yang dikombinasi syal berkelir biru. Lalu, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Tri Kasih Lembong hanya memakai kaos polo.

Yang juga tampak beda, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution tak membawa ajudan. Dia bahkan mengendarai sendiri mobilnya, Toyota Fortuner.

Kendati kelihatan santai, agenda rakor petang itu sangat serius. Rupanya, akhir pekan itu para menteri terusik dengan pecahnya perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan China. Mulai pukul 15.00 WIB, rakor dadakan tersebut baru berakhir jelang Magrib.

“Rapat koordinasi ini membahas kepentingan beberapa kementerian yang langsung terkait dengan ancaman perdagangan Indonesia, termasuk antisipasi yang akan dilakukan pemerintah,” kata Darmin.

Langkah antisipasi mau tidak mau harus pemerintah ambil lantaran perang dagang AS versus China tidak main-main. Washington memberlakukan tarif terhadap 25% produk impor China bernilai total US$ 34 miliar. Beijing jelas tidak tinggal diam dan melakukan aksi balasan atas produk impor AS.

Ganggu ekspor

Genderang perang dagang ini sontak membuat banyak negara kalang kabut. Soalnya, perang dagang yang disebut-sebut terbesar dalam sejarah ekonomi dunia itu bakal memicu stagnasi perekonomian global dan penurunan pasar saham.

Selain itu, banyak ekonomi negara lain yang secara langsung maupun tidak langsung juga terkena dampak perang dagang AS dan China. Tentu, tak terkecuali Indonesia.

Mohammad Faisal, Direktur Penelitian Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia, memperkirakan, efek perang dagang dua raksasa dunia itu bakal membuat defisit neraca perdagangan kita berlanjut hingga semester II-2018.

Sebab, aksi proteksi yang diterapkan kedua negara itu akan menghambat laju ekspor sejumlah komoditas unggulan Indonesia. Komoditas unggulan yang akan terkena dampak adalah minyak kelapa sawit mentah alias crude palm oil (CPO) dan karet.

Menurut Faisal, posisi Indonesia yang berada di rantai pasok paling bawah sebagai pemasok bahan baku industri menjadi sebab utama kenapa negara kita rentan terhadap perang dagang AS-China.

Di sisi lain, Indonesia berpotensi kebanjiran limpahan produk dari China. Salah satunya, produk baja sebagai salah satu komoditas negeri tembok raksasa yang dipungut bea masuk tinggi di negeri Uak Sam.

Nah, saat ekspor melambat dan impor melejit, maka permintaan valas semakin tinggi. “Dan ujungnya, rupiah rentan terdepresiasi,” ujar Faisal.

Terlebih, AS tengah mengevaluasi sekitar 124 produk ekspor asal Indonesia, termasuk tekstil, tripleks (plywood), kapas, dan beberapa hasil perikanan, seperti udang dan kepiting.

Langkah itu guna menentukan produk apa saja yang masih layak menerima fasilitas berupa Generalized System of Preferences (GSP). Sistem ini merupakan kebijakan perdagangan suatu negara yang memberi pemotongan tarif bea masuk terhadap produk ekspor (lihat: Indonesia di ambang perang dagang ).

Selain mengganggu kinerja ekspor impor, perang dagang AS-China bisa berdampak ke investasi. “Karena menimbulkan ketidakpastian di kalangan pengusaha dan investor,” ungkap Thomas Lembong.

Tak pelak, pemerintah pun berupaya keras mengantisipasi pengaruh buruk dari perang dagang tersebut. Salah satu strategi yang pemerintah siapkan ialah memacu ekspor dan mengurangi impor.

Darmin mengaku, pemerintah sudah mengidentifikasi langkah apa saja yang perlu dilakukan untuk mempercepat kenaikan ekspor. Pemerintah juga berencana membentuk kelompok kerja (pokja) untuk mengawal kebijakan ini.

Pokja ini terdiri dari Kementerian Perdagangan (Kemdag), Kementerian Perindustrian (Kemperin), dan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.

“Harapannya, dalam waktu tidak terlalu lama kami ingin defisit neraca perdagangan mulai mengecil dan kami ubah jadi positif,” imbuh Darmin. Siapkan stimulus

Untuk itu, pemerintah juga mengidentifikasi produk impor yang bisa ditekan, biar disparitas neraca dagang tidak terlalu besar.

Namun, pemerintah akan secara hati-hati agar perlambatan impor tak menekan pertumbuhan ekonomi. “Kami masih mengkaji, laju impor yang bisa agak diperlambat yang mana saja,” tambah Darmin.

Menurut Haris Munandar, Sekretaris Jenderal Kemperin, perang dagang AS-China berpotensi membawa pengaruh ke sektor industri manufaktur terutama industri baja.

“Sektor baja harus kami persiapkan agar tak kebanjiran produk impor. Kalau dibanjiri produk impor, tentu sulit untuk bisa meningkatkan utilisais pabrik dalam negeri,” ujarnya.

Sektor keramik juga perlu diantisipasi supaya tidak dibanjiri produk impor. Jika barang impor membeludak, industri keramik menengah ke bawah akan sulit berkembang lantaran terkena dua pukulan sekaligus.

“Selain terpukul produk impor, juga tertekan harga gas. Kami belum bisa menurunkan harga gas sesuai yang diharapkan industri,” kata Haris.

Karena itu, Kemperin membuat kelompok kerja yang akan mengoptimalkan kinerja industri baja dan keramik dalam negeri.

Kelompok ini bakal mengidentifikasi satu per satu industri mana saja yang impornya tinggi. Lalu, mereka akan memilah industri mana saja yang jika didorong dengan cepat bisa menghemat devisa.

Langkah lain pemerintah menghemat devisa adalah dengan mendorong substitusi impor bahan baku untuk diinvestasikan. “Kami juga fokus pada perbaikan produksi, iklim investasi, dan pemangkasan perizinan,” kata Haris.

Karyanto Suprih, Sekretaris Jenderal Kemdag, menambahkan, untuk mendorong kinerja ekspor, pemerintah juga akan menyiapkan stimulus dalam bentuk pemberian subsidi kredit ke pengusaha. “Ini sedang kami godok,” sebutnya.

Elisa Sinaga, Ketua Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki), berkata, perlu segera ada tindakan preventif dari pemerintah agar industri dalam negeri tetap bisa bersaing. “Perlu ada pengendalian impor. Salah satunya penerapan safeguard,” pinta Elisa.

Maklum, meski perang dagang AS dan China sudah pecah, sampai sekarang belum ada skema konkrit yang pemerintah terapkan guna menangkal efek perseteruan itu.

Semuanya masih tahap penggodokan. Seharusnya, berbagai skema itu sudah pemerintah siapkan jauh hari, mengingat isu perang dagang AS-China sudah bergaung sejak lama.

 ◆ Stimulus Belum Cukup, Butuh Dukungan Lain Juga

Genderang perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China sudah ditabuh.

Perseteruan dua raksasa ekonomi dunia ini bisa membuat defisit neraca perdagangan Indonesia semakin melebar. Untuk menekan defisit agar tidak makin lebar, pemerintah perlu memberikan stimulus untuk mendorong ekspor.

Ekonom BCA David Sumual mengatakan, stimulus tersebut bisa dalam bentuk pemberian subsidi kredit. Di luar negeri, ada fasilitas kredit ekspor yang ditunjang oleh pemerintahnya.

“Biasanya, ekspor dibiayai bank-bank di luar negeri. Nah, produk unggulan kita juga harus didukung bank-bank pemerintah. Ini momentum yang tepat untuk kembali mendorong itu,” imbuh David.

Pemerintah memiliki Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) atawa Indonesia Eximbank. Alhasil, pemerintah tinggal membuat regulasi saja untuk mendorong pembiayaan berbunga rendah.

“Ini perlu peran pemerintah termasuk dari Kementerian Keuangan. Ekspor apa yang diberikan subsidi bunga, subsektor, syarat dan ketentuannya, serta negaranya, perlu panduan untuk ini,” ucap David.

Menurut Wakil Ketua Kamar Dagang Industri (Kadin) Indonesia Shinta Widjaja Kamdani, kalau pemerintah merealisasikan stimulus tersebut itu merupakan inisiatif yang sangat baik.

Pengusaha membutuhkan pembiayaan berbunga rendah terutama pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di sektor makanan dan minuman serta kerajinan. “Tentunya sangat baik inisiatif itu,” kata dia.

Untuk itu, pemerintah perlu kembali memetakan produk-produk ekspor unggulan. Saat ini, produk yang diprioritaskan untuk ekspor, misalnya, minyak kelapa sawit, tekstil, dan alas kaki.

Namun, Shinta mengingatkan, pembiayaan bukan satu-satunya masalah dalam kegiatan ekspor. Perlu juga dukungan berupa pengembangan produk dan promosi untuk penetrasi pasar.

Sebelumnya, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Suahasil Nazara mengatakan, untuk mendorong peningkatan ekspor, pemerintah akan mengoptimalkan National Interest Account (NIA).

Ini adalah penugasan khusus pemerintah kepada LPEI untuk menyediakan pembiayaan ekspor atas transaksi atau proyek yang dianggap perlu, tapi secara komersial sulit dilaksanakan.

Bentuknya, bisa pembiayaan, penjaminan, dan asuransi ekspor. “Untuk membantu eksportir guna menerobos pasar ekspor yang baru,” ujarnya.       

Berikutnya: Indonesia di ambang perang dagang dengan AS? (2)

Artikel ini sebelumnya sudah dimuat di Laporan Utama Tabloid KONTAN edisi 16 Juli- 22 Juli  2018. Artikel berikut data dan infografis selengkapnya silakan klik link berikut: "Perang Dagang, Neraca Meradang"

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Mesti Sinaga