KONTAN.CO.ID -Pemerintah telah memutuskan rata-rata kenaikan tarif cukai hasil tembakau 2021 sebesar 12,5%. Apresiasi dan dukungan setinggi-tingginya kepada Presiden Joko Widodo dan Kementerian Keuangan, serta Kementerian/Lembaga lain yang mendorong kebijakan ini. Kenaikan cukai ini diharapkan meningkatkan fungsi cukai yang sesungguhnya, yaitu pengendalian konsumsi dan pengawasan peredaran terhadap barang berbahaya yang mengganggu kesehatan masyarakat, khususnya rokok. Sebagaimana diketahui, peningkatan sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing menjadi salah satu dari tujuh agenda Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, maka kesehatan masyarakat menjadi poin penting yang harus diperhatikan. Selama tujuh tahun terakhir, prevalensi perokok anak Indonesia terus meningkat. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), prevalensi perokok anak meningkat dari 7,2% pada 2013 menjadi 9,1% pada 2018. Peningkatan tersebut jauh melampaui target prevalensi perokok pada populasi usia 10-18 tahun dalam RPJMN 2019 yang diinginkan pemerintah, yaitu 5,4%. Menurut studi yang dilakukan oleh Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI), peningkatan prevalensi perokok anak dipengaruhi efek teman sebaya (
peer effect) dan harga (
price effect).
Faktor harga menunjukkan semakin mahal harga rokok maka semakin kecil peluang anak merokok. Hasil studi ini menjadi bukti ilmiah (
evidence based) bagi pemerintah untuk membuat kebijakan harga rokok lebih mahal agar tidak terjangkau oleh anak-anak sehingga target untuk menurunkan prevalensi perokok anak menjadi 8,7% pada 2024 tercapai. Di samping kewajiban negara untuk melindungi generasi bangsa dari jeratan produk adiksi berbahaya, kenaikan cukai hasil tembakau juga dapat menjadi alat untuk pemulihan ekonomi dalam konteks pandemi COVID-19, seperti yang disampaikan oleh Jeremias Paul Jr.,
Head of Fiscal Policies for Health Unit Health Promotion Department WHO Quarter. Narasi mengenai cukai hasil tembakau sebagai sumber penerimaan negara terbesar sebenarnya tidak sebanding dengan kerugian untuk menangani dampak dari produk hasil tembakau, terutama penyakit akibat rokok. Tapi kenaikan cukai rokok bisa dijadikan sumber alternatif untuk pendanaan pembangunan dan kesehatan. Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) yang pada regulasinya memuat poin-poin alokasi cukai hasil tembakau, fakta di lapangan selama ini belum sepenuhnya ditunaikan. Kelompok terdampak, yakni petani tembakau, buruh rokok, dan masyarakat miskin belum merasakan manfaat DBH CHT, bahkan tidak semuanya mengetahui perihal DBH CHT. Padahal menurut PMK 7/PMK.07/2020, target penerima manfaat DBH CHT diprioritaskan bagi kelompok terdampak tersebut.
Kesejahteraan Pada
press statement mengenai kebijakan cukai rokok yang disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani (10/12) menyebutkan,
refocusing Pemanfaatan DBH CHT sebesar 50% adalah untuk kesejahteraan masyarakat, termasuk peningkatan kualitas bahan baku maupun diversifikasi tanaman bagi para petani tembakau. Pernyataan tersebut jika direalisasikan dengan baik sesuai dengan ketentuan yang mengatur penggunaan DBH CHT, maka petani tembakau dapat menerima manfaat yang seharusnya mereka peroleh, seperti program peningkatan kualitas bahan baku yang meliputi kegiatan penerapan budidaya tembakau yang baik, penanganan panen dan pasca panen, serta dukungan sarana dan prasarana usaha tani tembakau. Kekhawatiran akan kesejahteraan petani tembakau jika cukai hasil tembakau naik tidak berdasar pada data. Studi kualitatif PKJS-UI mengenai kehidupan petani tembakau di Lombok Tengah, Pamekasan, dan Kendal menemukan bahwa persoalan yang kerap kali dihadapi oleh para petani tembakau adalah serapan produksi yang rendah oleh industri karena masih tingginya impor tembakau serta sistem tata niaga yang menjadikan petani tembakau hanya sebagai
price taker. Mereka terjebak dalam tata niaga yang bersifat oligopsonistik sehingga tidak memiliki daya tawar maupun menentukan kualitas dan harga tembakau yang diproduksi. Program peningkatan kualitas bahan baku yang didanai DBH CHT harus dijalankan dengan optimal sebagai bentuk komitmen keberpihakan dan dukungan kepada petani tembakau, mengingat kualitas produksi tembakau menentukan harga jual. Petani juga perlu mendapat dukungan untuk menerapkan budidaya tembakau yang baik, seperti pemberian bibit unggul dan pupuk. Kualitas tembakau yang baik diharapkan meningkatkan serapan oleh perusahaan. Hasil riset PKJS-UI juga menunjukkan bahwa petani tembakau lebih banyak mengeluhkan tentang tata niaga tembakau dan faktor cuaca, bukan pada kenaikan cukai. Kemitraan antara petani dan industri masih belum saling menguntungkan, seperti yang diungkapkan oleh Retno Rusdjijati, Ketua Muhammadiyah
Tobacco Control Center, bahwa petani tetap mendapatkan harga tembakau sesuai dengan harga kontrak yang telah ditetapkan meskipun saat itu harga tembakau sedang naik. Selain itu, jika kualitas tembakau buruk, perusahaan tidak mau membeli walaupun sudah ada kontrak. Kondisi ini tidak berpihak pada petani. Sudah seharusnya pemerintah hadir untuk mendukung petani tembakau serta memberikan aturan dan pengawasan dalam sistem tata niaga antara industri dengan petani tembakau agar tidak ada salah satu pihak yang diuntungkan di atas kerugian yang lain. Sebagian informan petani tembakau dalam studi PKJS-UI juga mengaku lebih senang menanam tanaman lain karena modal yang dibutuhkan sedikit. Akan tetapi, para petani belum cukup yakin untuk sepenuhnya melakukan alih tanam atau diversifikasi karena belum adanya pangsa pasar yang menjamin serapan produksi komoditi selain tembakau. Salah satu contoh solusi untuk mitigasi petani dalam hal keinginan alih tanam adalah mengadakan diskusi (
sharing) antarpetani tembakau dan petani yang sudah berhasil alih tanam, seperti yang dilakukan oleh MTCC Universitas Muhammadiyah. Selain itu, pemerintah harus hadir membantu petani yang ingin beralih tanam, yang diimplementasikan melalui pengelolaan alokasi DBH CHT agar membantu petani beralih tanam dan diversifikasi.
Kenaikan cukai hasil tembakau secara rutin, persisten, dan konsisten akan mendorong harga rokok lebih mahal sehingga anak-anak dan remaja tidak dapat menjangkaunya. Ini akan mendukung percepatan pembangunan sumber daya manusia (SDM) yang unggul dan berkualitas menghadapi bonus demografi 2030, serta optimalisasi penggunaan alokasi DBH CHT yang berpihak pada petani tembakau untuk peningkatan kesejahteraan mereka. Tentu saja, kebijakan ini selaras dengan RPJMN 2020-2024 yang mencari solusi tengah (
win-win solution) untuk kualitas sumber daya manusia Indonesia ke depan. Penulis : Renny Nurhasana dan Fadhilah Rizky Ningtyas Peneliti Pusat Kajian Jaminan Sosial UI Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti