KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ketersediaan sumber pembiayaan menjadi salah satu tantangan dalam pelaksanaan program perumahan rakyat, selain ketersediaan lahan. Pasalnya, anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) terbatas untuk membiayai pengadaan rumah subsidi, sementara jumlah orang yang membutuhkan rumah meningkat setiap tahun. Dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik (BPS), terdapat sebanyak 12,7 juta rumah tangga di Indonesia yang belum memiliki rumah hingga tahun 2021. Sementara setiap tahunnya ada penambahan kebutuhan rumah sekitar 600.000-700.000 unit seiring bertambahnya keluarga baru. Dana APBN yang dianggarkan setiap tahun untuk mensubsidi pengadaan rumah rakyat lewat fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) hanya sekitar Rp 19 triliun-Rp 25 triliun untuk pengadaan 200.000-250.000 unit per tahun sejak tahun 2010.
Jika hanya mengandalkan sumber pembiayaan dari APBN maka permasalahan backlog perumahan di Tanah Air tidak akan terselesaikan. Apalagi, kemampuan APBN juga semakin terbatas yang tercermin dari penetapan kuota FLPP tahun 2024 hanya 166.000 unit. Ditambah, program Tapera yang bakal jadi sumber pembiayaan pengadaan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) kini juga menghadapi penolakan dari banyak pihak.
Baca Juga: Berperan Sebagai Pengawas BP Tapera, OJK Lakukan Sejumlah Hal Ini Oleh karena itu, PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN) telah mengusulkan agar alokasi dana FLPP yang diberikan dalam bentuk bantuan likuiditas diubah menjadi Dana Abadi Perumahan yang akan diperuntukkan untuk penyaluran program bantuan subsidi selisih bunga (SSB). Hirwandi Gafar, Direktur Consumer Bank Tabungan Negara (BTN) menjelaskan, dana APBN untuk bantuan rumah subsidi itu nantinya tidak bergulir lagi tetapi ditempatkan di Tapera sebagai Dana Abadi. Tapera selanjutnya mengelola dana tersebut dengan diinvestasikan pada obligasi pemerintah atau BUMN. Kupon yang diterima akan digunakan untuk membayarkan selisih bunga kepada bank penyalur KPR subsidi. “Untuk tahap awal, sumber Dana Abadi ini kami targetkan dari alokasi APBN untuk SSB dan kemudian dari dana bergulir FLPP yang masih berjalan saat ini yang nilainya mencapai Rp 105 triliun,” kata Hirwandi, Jumat (22/6).
Baca Juga: REI dan Perbankan Berkolaborasi Mencari Solusi Atas Keterbatasan Kuota FLPP 2024 Lewat Dana Abadi itu, BTN mengusulkan subsidi pemerintah atas selisih bunga bisa sampai dengan 5%. Lalu bunga yang dikenakan ke nasabah MBR sebesar 5% dan 7% tergantung penghasilannya. Kemudian, tenor KPR bisa 30 tahun tetapi jangka waktu pemberian subsidi hanya 10 tahun. Dengan skema itu, kata Hirwandi, pembiayaan rumah subsidi bisa lebih banyak dibanding dengan skema FLPP yang ada saat ini. Sementara dampaknya ke bank, dana KPR sepenuhnya akan bersumber dari likuiditas bank. Hanya saja, KPR SSB tersebut sudah bisa disekuritisasi. Adapun skema FLPP saat ini, sumber dana KPR subsidi 75% berasal dari pemerintah dan 25% likuiditas bank. Dengan bantuan likuiditas dari pemerintah itu, bunga KPR yang tagih ke nasabah hanya 5% dengan jangka waktu hingga 20 tahun.
Bahan Bakar Program 3 Juta Rumah
Menurut Hirwandi, skema ini memiliki kekurangan karena akan ketergantungan pada dana APBN. Sementara masa pemberian subsidi hingga 20 tahun memberatkan bank. Sebab, biaya overhead bank bergerak mengikuti pasar tetapi pendapatan dari bunga KPR subsidi itu tidak berubah. Selain dari APBN, kata dia, potensi sumber dana abadi perumahan ke depan bisa juga berasal dari dana perumahan di BPJS-Ketenagakerjaan atau Jaminan Hari Tua (JHT), iuran wajib perumahan TNI/Polri, kontribusi pemerintah daerah lewat APBD serta dana CSR. BTN meyakini skema dana abadi ini akan bisa menjadi bahan bakar dalam menjalankan program 3 juta rumah per tahun yang dicanangkan pemerintahan Prabowo-Gibran. Dalam jangka waktu 10 tahun setelah dana abadi terbentuk, pembiayaan perumahan rakyat diperkirakan sudah tidak perlu APBN lagi. “Subsidi sudah bisa dibiayai lewat hasil pengelolaan dana abadi itu,” ujar Hirwandi. Haryo Bekti Martoyoedo, Direktur Pembiayaan Perumahan Ditjen Pembiayaan Infrastruktur Kementerian PUPR mengatakan, mekanisme dana abadi perumahan masih dalam tahap pembahasan bersama ekosistem pembiayaan perumahan termasuk Kementerian Keuangan.
Baca Juga: Siasat Bank Syariah Mencuil Peluang KPR Syariah di Tengah Tren Suku Bunga Tinggi “Saat ini skema dana abadi perumahan ini masih perlu didetailkan, bagaimana pencatatan di negara, bagaimana pengelolaan dananya, dan siapa yang akan mengelola. Tahun 2024 dipastikan ini belum akan berjalan. Paling cepat mungkin bisa diterapkan pada 2025 tetapi itu akan tergantung pada ketersediaan dana APBN,” tutur Haryo. Haryo bilang, mekanisme dana abadi ini bukanlah sesuatu yang baru di Indonesia karena sebelumnya telah ada Lembaga Dana Kerja Sama Pembangunan Internasional (LDKPI) yang mengelola dana kerja pembangunan internasional (endowment fund) dan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) yang mengelola dana abadi pendidikan, penelitian, perguruan tinggi dan dana abadi kebudayaan. Dia membenarkan bahwa dengan dana abadi tersebut pengadaan rumah subsidi akan lebih banyak dibanding dengan dana bergulir FLPP. Gambarannya, dana APBN sebesar Rp 19,4 triliun hanya bisa membantu pengadaan 270.179 unit rumah selama 20 tahun. Sedangkan dengan dana abadi, anggaran yang sama bisa membiayai pengawasan 584.093 unit rumah MBR dalam 20 tahun. “Jadi daya ungkit dana abadi ini mencapai 2,16 kali,” pungkasnya. Sementara itu, Pengamat Properti Panangian Simanungkalit menilai pemerintah baru mendatang memiliki semangat dan program yang menonjol di sektor perumahan. Oleh karena itu dia mendorong ekosistem pembiayaan perumahan bersatu, sehingga mampu mengeksekusi kebijakan yang dirumuskan termasuk di antaranya dana abadi perumahan.
Baca Juga: Pemerintah Sudah Guyur Anggaran Rp 228,9 Triliun untuk Bantu MBR Punya Rumah “Jangan lagi mementingkan ego sektoral masing-masing, karena selama ini banyak kebijakan yang tidak bisa dieksekusi dengan baik. Soal dana abadi perumahan ini juga seharusnya satu suara,” tegasnya. Terkait dengan target pembangunan 3 juta rumah, Panangian berpendapat program itu cukup realistis. Tetapi memang diakui persoalannya adalah masalah pendanaan. Karena itu, dengan adanya dana abadi diharapkan dapat sedikit membantu. “Kita butuh setidaknya Rp120 triliun per tahun untuk mendanai sektor perumahan. Jadi dana abadi ini saya kira dapat menjadi salah satu solusi pembiayaan." Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Dina Hutauruk