Dana Asing Berpotensi Keluar dari Pasar Modal Indonesia, Ini Penyebabnya



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pasca pengumuman data tenaga kerja Amerika Serikat (AS), yield US Treasury (UST) 10 tahun menanjak yang turut mendorong kenaikan yield SUN acuan 10 tahun turut naik. Dus, ada potensi dana asing akan keluar dari dalam negeri.

Berdasarkan data Trading Economics, yield UST 10 tahun berada di 4,01% pada Senin (7/10) per pukul 18.09 WIB, tertinggi dalam dua bulan terakhir. Sementara yield SUN 10 tahun berada di 6,84%.

Fixed Income Analyst Pefindo, Ahmad Nasrudin menyebutkan kenaikan yield tersebut berdampak negatif terhadap pasar obligasi domestik dilihat dari dua sisi. Pertama, dari sisi pricing, kenaikan yield UST akan mendorong naik yield obligasi domestik untuk mempertahankan premi tidak berubah dan tetap menarik bagi asing.


Baca Juga: Kinerja Kompak Minus, Hanya Reksadana Pasar Uang yang Catat Return Positif

Kedua adalah potensi arus keluar modal asing. Yield UST yang lebih tinggi akan menarik dana di pasar global menuju pasar AS karena menawarkan imbal hasil yang menarik, terlebih di tengah kondisi dolar yang lebih kuat.

"Sehingga, mereka yang memegang dolar akan lebih suka untuk mengalokasikannya ke pasar AS tanpa harus terekspos oleh risiko translasi nilai tukar," ujarnya kepada Kontan.co.id, Senin (7/10).

Namun memang, lanjut Ahmad, melihat dari pekan lalu efeknya lebih terasa pada kenaikan pricing daripada arus keluar. Pasar domestik bearish mengikut pasar AS meski ada beberapa arus masuk modal asing di pekan lalu.

Yield dua tahun dan 10 tahun, masing-masing naik 2 basis poin (bps) menjadi 6,296% dan 18bps menjadi 6,649%. Sementara dari arus dana masuk, pekan lalu asing membukukan beli bersih sebesar Rp 7,38 triliun di pasar surat utang pemerintah dan di saat yang sama mereka membukukan jual bersih Rp 4,88 triliun di pasar saham.

"Meski masih masuk di pekan lalu, kami melihat ada kekhawatiran terhadap arus keluar modal asing dari pasar domestik memanfaatkan sentimen eksternal yang memburuk," paparnya.

Menurutnya, ada sejumlah faktor yang mempengaruhi arus keluar. Pertama, spekulasi karena asing mengambil untung.

Dijelaskan, arus modal asing mengalir deras selama Agustus hingga pertengahan September. Derasnya arus masuk telah mengerek harga surat utang pemerintah, yield 10 tahun turun drastis dari 6,9% di akhir Juli 2024 menjadi 6,45% di akhir September.

Baca Juga: Aliran Modal Asing Terus Mengalir ke Pasar Keuangan Domestik

Nah, karena harga telah naik tajam dan menjadi lebih mahal, maka ruang untuk naik lebih lanjut menjadi lebih terbatas. "Sehingga, asing melihat momen ini untuk merealisasikan keuntungan dan spekulasi ini saya perkirakan masih akan berlanjut hingga harga cukup murah untuk mereka masuk kembali," sebutnya.

Kedua, asing memanfaatkan sentimen eksternal, mulai dari pasar AS dan konflik geopolitik yang sedang tereskalasi. Pemangkasan suku bunga oleh the Fed dan negara maju lainnya telah mendorong dana asing mengalir ke negara berkembang demi mengejar pengembalian.

Namun, data ekonomi terbaru meningkatkan skeptisisme terhadap pemangkasan suku bunga. Jika benar lebih hawkish, maka itu akan menjadi sentimen negatif bagi pasar surat utang domestik.

Sentimen lainnya datang dari faktor geopolitik, yang mana kondisi Timur Tengah menjadi lebih buruk, membuat investor global menjadi lebih risk averse. Selain mendorong investor global memburu aset safe havens seperti emas dan dolar AS, itu juga mendorong naik harga minyak, yang mana jika berkepanjangan akan membuat progress disinflasi terhambat karena tingkat inflasi menjadi lebih kaku untuk turun.

Terakhir, stimulus di China juga bermain peran dalam menarik dana asing bergerak ke negara tersebut. Ini akan menyedot dana yang besar mengingat ukuran ekonomi China yang signifikan.

Berdasarkan datanya, secara week to date, sebagian besar dana asing mengalir ke pasar surat utang di beberapa negara asia seperti India, Jepang, dan Korea Selatan. Selain itu, pasar China juga menjadi target.

Head of Economic Research Pefindo, Suhindarto berpandangan bahwa pelarian asing ini lebih mengarah pada spekulasi dan memanfaatkan timing jangka pendek. "Jadi, faktornya tidak hanya stimulus China ataupun arah suku bunga Fed, tapi juga faktor lain seperti geopolitik.

Euforia asing terhadap pasar domestik meningkat setelah the Fed memangkas suku bunga 50bps, sementara bank sentral domestik memangkas 25bps, membuat spreadnya melebar. Kondisi ini kemudian menarik dana asing mengalir deras.

Baca Juga: Dana Asing Masih Masuk Pasar Keuangan Domestik di Awal Oktober

"Mereka telah price in terhadap pemangkasan tersebut, sehingga asing masuk sebelum suku bunga benar-benar dipangkas," sebutnya.

Kemudian, di akhir September, pasar sudah jenuh beli karena harga sudah naik dan menjadi lebih mahal. Kemudian investor mengamati perkembangan terbaru, mulai dari geopolitik hingga ekonomi. Dan waktunya memang tepat, China mengeluarkan stimulus baru dan kondisi geopolitik memburuk.

"Investor kemudian merealisasikan keuntungan dan keluar dari pasar domestik, yang kemudian membuat rupiah terdepresiasi dari Rp 15.140 di akhir September 2024 menjadi Rp 15.687 per hari ini," terangnya.

Karenanya, Suhindarto menilai koreksi ini tidak bakal berkepanjangan. Ia memperkirakan koreksi tersebut akan terjadi sampai harga cukup murah bagi investor asing untuk masuk kembali.

Maklum, Indonesia masih mempertahankan peringkat sovereign yang stabil di investment grade, yang mana meningkatkan kepercayaan bagi investor asing. "Selain itu, imbal hasil yang tinggi menjadi daya tarik lainnya," sambungnya.

Sebagai catatan, Suhindarto berpendapat bahwa koreksi harga dan depresiasi membuat asing memiliki dua keuntungan ketika masuk kembali. Pertama, investor bisa membeli di harga rendah karena telah terkoreksi dan depresiasi memungkinkan mereka bisa menukar dolar ke lebih banyak rupiah dan karena itu bisa membeli lebih banyak unit aset.

"Sehingga, ketika harga sudah terkoreksi dan cukup murah, saya yakin asing akan masuk kembali. Fenomena spekulasi semacam ini, saya perhatikan, selalu terjadi selama era suku bunga tinggi dalam tiga tahun terakhir," paparnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi