KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Aliran dana asing terlihat masih keluar dari pasar obligasi Indonesia. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, pada bulan Agustus 2023, aliran dana keluar investor asing dari pasar obligasi korporasi tercatat sebesar Rp 211,93 miliar month to date (mtd) dan secara year to date (ytd) tercatat outflow Rp 561,98 miliar. Sejalan dengan pergerakan global, pasar surat berharga negara (SBN) membukukan outflow investor asing sebesar Rp 8,89 triliun mtd, dibanding Juli 2023 yang masih inflow Rp 8,30 triliun mtd. Hal mendorong kenaikan yield SBN rata-rata sebesar 11,88 bps mtd di seluruh tenor. Chief Economist PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) Suhindarto mengatakan, arus keluar investor asing baru-baru ini lebih didorong oleh aksi profit taking. Pasalnya, sejak November 2022, investor asing senantiasa membukukan beli bersih, kecuali di Februari 2023.
Profit taking tersebut mengambil beberapa momentum, yakni kenaikan tingkat inflasi domestik di bulan Agustus 2023 ke level 3,27%, dari Juli 2023 di 3,08%. Selain itu, asing juga menghadapi peningkatan risiko translasi setelah rupiah terdepresiasi. Setelah sempat berada bawah Rp 15.000 per dolar AS pada Juli 2023, rupiah kembali bergerak ke atas dan ditutup pada Rp 15.237 per dolar AS. Menurutnya, tekanan terhadap rupiah meningkat setelah surplus dagang mulai berkurang akibat siklus booming komoditas berakhir. Apalagi, spread antara suku bunga domestik dengan suku bunga AS berada pada rekor tersempit sepanjang sejarah, membuat rupiah rentan terhadap aktivitas spekulasi akibat pergerakan hot money.
Baca Juga: Asing Keluar dari Pasar Obligasi Korporasi dan SBN RI, Ini Penyebabnya Suhindarto melihat, aktivitas spekulatif masih akan tetap tinggi di awal September 2023 sampai pertemuan bank-bank sentral di negara maju mendekati akhir September. Jika mereka masih mempertahankan suku bunga saat ini, tekanan terhadap pasar surat utang pemerintah Indonesia diperkirakan relatif rendah. "Akan tetapi, jika ada kenaikan, saya kira mewaspadai potensi tekanan yang lebih besar menjadi pertimbangan bijak mengingat ketidakpastian eksternal masih tinggi," kata Suhindarto. Apalagi, jika suku bunga para negara maju tersebut dinaikkan, spread-nya dengan suku bunga domestik akan semakin menyempit. Spread yang sempit berarti pasar di negara maju lebih menarik karena mereka menawarkan pengembalian yang sama tingginya namun pada tingkat risiko yang lebih rendah berkat peringkat sovereign mereka lebih tinggi daripada Indonesia. Adapun, dampaknya terhadap obligasi korporasi akan tergantung pada bagaimana pasar SUN merespons sentimen eksternal. Hal ini dikarenakan investor di obligasi korporasi masih didominasi oleh investor dalam negeri (sekitar 94%). Dengan begitu dampak sentimen eksternal terhadap obligasi korporasi lebih pada efeknya terhadap yield karena obligasi pemerintah menjadi benchmark untuk pricing obligasi korporasi. Sementara itu, pengaruh terhadap kualitas kredit lebih banyak ditentukan oleh kondisi fundamental domestik, seperti prospek pertumbuhan ekonomi dan suku bunga. Pefindo mengharapkan pasar SUN dapat bergerak positif setelah pertemuan bank sentral negara-negara maju pada September 2023. Hal ini didukung fundamental domestik yang solid di mana tingkat pertumbuhan ekonomi tetap baik dan tingkat inflasi masih berada pada rentang target Bank Indonesia. "Perhatian saat ini lebih banyak tertuju pada kondisi rupiah. Selama rupiah dijaga stabil, saya kira asing akan kembali masuk," ucap Suhindarto. Investor asing yang berorientasi jangka pendek secara umum aktif memperdagangkan obligasi korporasi dan cenderung tidak hold to maturity. Sehingga, kondisi terkoreksi akhir-akhir ini menjadi momen untuk kembali masuk agar mereka mendapatkan keuntungan ketika kebijakan moneter domestik mulai bergerak turun yang akan mendorong harga obligasi untuk naik. Suhindarto memperkirakan, yield 10 tahun obligasi pemerintah akan berada pada rentang 5,94%-6,88% hingga akhir tahun 2023. Kecil kemungkinannya untuk kembali ke atas 7%. Tren inflasi domestik yang terus berada pada rentang target memungkinkan suku bunga untuk bergerak turun ke depan. Dengan begitu, persentase yield tersebut masih menarik, terutama bagi investor asing karena masih lebih tinggi daripada tingkat inflasi. Sementara itu, yield 3 tahun obligasi korporasi berperingkat AAA diperkirakan akan berada di kisaran 6,82%-7,47% mengasumsikan preminya berada di kisaran 55 bps-120 bps. Terkait berinvestasi di obligasi korporasi berkupon, Suhindarto menilai prospeknya tetap masih menarik karena investor cenderung hold-to-maturity. Suku bunga tinggi saat ini memungkinkan mereka untuk mendapatkan kupon tinggi. Selain itu, terdapat pula ekspektasi keuntungan yang lebih baik ke depan saat suku bunga pada akhirnya akan turun sehingga momen ini menjadi kesempatan untuk mendapatkan kupon tinggi hingga jatuh tempo.
Di sisi lain, suku bunga tinggi juga datang dengan risiko lebih tinggi, mengingat suku bunga tinggi saat ini memengaruhi leverage keuangan dari emiten. Hal ini membuat beban bunga menjadi lebih tinggi. Jadi, investor harus tetap bijak dalam berinvestasi di obligasi korporasi dengan tetap melihat risiko kredit, sebagaimana tercermin dari peringkat kredit yang Pefindo sematkan. Pilihan obligasi korporasi tergantung pada selera investor karena rating lebih baik berarti kupon lebih rendah, begitu juga sebaliknya.
Baca Juga: Asing Keluar dari Pasar Obligasi Korporasi dan SBN Indonesia, Cermati Pemicunya Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Khomarul Hidayat