Dana Asing Keluar dari Pasar SBN, Ini Penjelasan Ekonom



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pasar surat berharga negara (SBN) mencatat outflow pasca rencana Indonesia mendaftar menjadi anggota BRICS.

Menilik data Bank Indonesia (BI), berdasarkan data transaksi 21-24 Oktober 2024, pasar SBN mencatat jual neto sebesar Rp 4,53 triliun. Menilik kepemilikan asing di pasar SBN secara harian, pada periode 25-30 Oktober mengalami penyusutan sebesar Rp 3,1 triliun menjadi Rp 883,79 triliun.

Senior Economist KB Valbury Sekuritas, Fikri C. Permana menilai arus keluar dana asing lebih cenderung disebabkan faktor ketidakpastian global.


Baca Juga: Arus Keluar di Pasar SBN Masih Akan Berlangsung, Prediksinya Sampai Pilpres AS Usai

"Masih sulit diprediksi karena masih baru dan belum tahu dampak ke politik dan ekonominya seperti apa," ujarnya kepada Kontan.co.id, Kamis (31/10).

Ekonom BCA, David Sumual menilai langkah Indonesia itu mencerminkan dari politik bebas aktif. Sebab pada saat yang sama, Indonesia juga sedang mendaftarkan diri juga ke Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD).

Terkait efek ke larinya dana asing dari portofolio dalam negeri, khususnya SBN, David menilai tidak terlalu berpengaruh. Menurutnya, efeknya lebih ke kegiatan perdagangan Indonesia.

Sebab saat transaksi dengan China, mereka meminta dibayar dengan Yuan, sedangkan saat Indonesia ekspor banyak dibayar dalam dolar AS. "Jadi di dalam negeri kekurangan Yuan sehingga jika ke depan semakin banyak yang meminta dibayar dengan Yuan maka Indonesia defisit," ujarnya.

Baca Juga: CIMB Niaga Laporkan Perolehan Keuangan Sembilan Bulan Pertama 2024, Tumbuh Positif

David berujar, keluarnya dana asing dari SBN, salah satunya akibat profit taking. Maklum, belum lama rupiah menguat ke Rp 15.100 per dolar AS sehingga 'pricing' menguat tajam. "Jadi sekarang normalisasi saja," sambungnya.

Di sisi lain, memang terdapat peralihan ke aset safe haven, apalagi kekhawatiran jika Trump memenangi pilpres AS lantaran memiliki program kebijakan yang membuat aliran modal lebih kuat lagi ke dolar AS.

Meski begitu, diyakini tekanan cenderung untuk jangka pendek, setidaknya sampai pilres di AS usai.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Noverius Laoli