KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Dana asing masih mengalir keluar dari pasar saham. Hal ini mencerminkan kekhawatiran investor akan keputusan Indonesia untuk daftar menjadi anggota BRICS. Melansir RTI, dana asing mengalir keluar dari pasar saham sebanyak Rp 616,16 miliar di pasar reguler pada perdagangan hari ini (1/11). Aliran dana asing sudah keluar Rp 5,69 triliun selama sebulan terakhir dan Rp 5,47 triliun sejak awal tahun alias
year to date (YtD) di pasar reguler. PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (
BBRI) menjadi jadi emiten yang paling banyak dilego asing dalam sebulan terakhir, yaitu sebanyak Rp 2,7 triliun. Di posisi kedua ada PT Bank Mandiri Tbk (
BMRI) yang dijual asing Rp 973 miliar dalam sebulan.
Kemudian, PT Bank Central Asia Tbk (
BBCA) dijual asing Rp 800,2 miliar dalam sebulan, PT Telkom Indonesia Tbk (
TLKM) dilepas asing Rp 318,8 miliar, dan PT Semen Indonesia Tbk (
SMGR) dijual asing Rp 207,1 miliar. Pengamat Pasar Modal dari Universitas Indonesia Budi Frensidy melihat, sebagian investor asing saat ini lebih memilih untuk pindah ke surat berharga negara (SBN). “Di sisi lain, rilis laporan keuangan jika hasilnya bagus, terutama untuk emiten big caps, tentu dapat menarik dana asing masuk ke pasar saham,” ujar Budi kepada Kontan.co.id, Kamis (31/10).
Baca Juga: IHSG Turun ke 7.505 Hari Ini (1/11), BBRI, TLKM, MYOR Paling Banyak Net Sell Asing Asal tahu saja, Indonesia menyampaikan keinginannya untuk bergabung dalam BRICS dalam pertemuan KTT BRICS Plus di Rusia (24/10). Dengan pengumuman tersebut, proses Indonesia untuk bergabung menjadi anggota BRICS telah dimulai. BRICS adalah aliansi yang beranggotakan lima negara besar yakni Brasil, Russia, India, China, dan Afrika Selatan (BRICS). Keanggotaan penuh BRICS bertambah setelah Iran, Mesir, Ethiopia, dan Uni Emirat Arab bergabung. Arab Saudi juga diundang untuk menjadi anggota kelompok tersebut mulai 1 Januari 2024. Jika Indonesia bergabung dengan BRICS, dampaknya akan positif buat investor China, tetapi akan kurang disukai oleh investor barat. “Namun, efek mana yang lebih kuat, tidak tahu pasti. Tetapi mungkin investor asing tidak begitu yakin dengan kabinet baru Presiden Prabowo Subianto,” ungkapnya. Ke depan, Budi melihat, sektor komoditas masih akan diminati oleh para investor. Apalagi jika harga komoditas bertahan sebagai akibat dari ketegangan tensi geopolitik yang belum usai.
Baca Juga: IHSG Melemah 0,91% ke 7.505 Pada Jumat (1/11), Simak Reviewnya dalam Sepekan Ini Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas, Maximilianus Nico Demus melihat, sejauh ini memang situasi dan kondisi global menyebabkan kekhawatiran para investor dan akibatnya menghantui pergerakan IHSG dalam beberapa waktu belakangan. Sebut saja, tingginya tensi geopolitik, instabilitas politik di Jepang, stimulus ekonomi China yang tak kunjung datang, ketidakpastian hasil Pemilu Amerika Serikat (AS), serta data inflasi dan ketenagakerjaan AS yang keluar pada pekan ini. “Hal ini yang membuat pelaku pasar dan investor cenderung khawatir, sehingga memilih untuk aksi ambil untung dan
wait and see,” ujarnya kepada Kontan.co.id, Kamis (31/10). Nico melihat, dana asing kemungkinan masih akan terus keluar, setidaknya sampai stimulus ekonomi China keluar dan presiden baru AS terpilih. Stimulus ekonomi dari pemerintah China untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi domestik mereka meningkatkan ekspektasi pelaku pasar dan investor bahwa perekonomian Negeri Tirai Bambu itu akan pulih. Apalagi, indeks saham China juga sudah terkoreksi cukup dalam, sehingga membuat valuasinya menjadi murah. “Yang itu artinya menjadi sebuah kesempatan bagi investor asing untuk kembali masuk ke China,” imbuh Nico.
Baca Juga: Cek Harga Saham DSSA, PANI, dan MCOR yang Kompak di Perdagangan Bursa Jumat (1/11) Potensi investor beralih ke obligasi juga ada, karena porsi investor asing di obligasi justru meningkat dan cukup stabil di kisaran 15% untuk saat ini. “Terkait dampak dari laporan keuangan kuartal III 2024, itu lain hal. Sebab, investor memiliki target harga tertentu dan strategi dari portofolionya, sehingga keputusan masing-masing investor tentu akan berbeda,” paparnya. Di sisi lain, hasil Pemilu AS memiliki bobot yang cukup besar untuk berdampak pada menyebabkan volatilitas pasar saat ini. Sebab, dampak kepemimpinan AS terhadap perekonomian global akan menentukan juga pertumbuhan ekonomi global ke depannya. Menurut Nico, pasar lebih menginginkan Kamala Harris untuk memenangkan pemilu kali ini. Tetapi, peluang Donald Trump untuk memenangkan Pemilu AS juga tidak kalah kuat. Apalagi, Trump dinilai mampu mendorong kenaikan inflasi yang menyebabkan peluang tingkat suku bunga turun pada tahun depan menjadi terganggu. “Belum lagi mengenai tarif dagang yang berpotensi kembali terjadi jika Trump kembali menang,” ungkapnya.
Baca Juga: IHSG Anjlok 0,91% ke 7.505 pada Jumat (1/11), ADRO, BBCA, ITMG Top Gainers LQ45 Jika Indonesia bergabung dengan BRICS, dampaknya akan positif ke pasar saham. Salah satu alasannya adalah BRICS memiliki misi untuk mencapai tujuan ekonomi bersama-sama di antara negara anggota, melancarkan koordinasi kebijakan ekonomi di antara negara anggota, dan mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS. Posisi BRICS penting karena kelompok ekonomi ini memiliki populasi gabungan sekitar 3,5 miliar juta jiwa yang setara dengan 45% penduduk dunia. Jika digabungkan semuanya, maka perekonomian anggotanya bernilai lebih dari US$ 28,5 triliun, atau 28% dari perekonomian global. ”Hal ini tentu saja akan memberikan dampak positif bagi Indonesia dan kita bisa memanfaatkan BRICS untuk dapat mendorong pertumbuhan ekonomi,” paparnya. Di tengah volatilitas pasar masih terjadi, potensi aliran dana asing untuk masuk kembali ke bursa domestik masih sangat terbuka, lantaran perekonomian Indonesia yang masih stabil. Meskipun ada stimulus tambahan dari pemerintah China, namun langkah-langkah pemulihan perekonomian negara tersebut juga belum cukup pasti. Hal itu membuat pelaku pasar dan investor menjadi bimbang dan ragu.
Baca Juga: IHSG Dibuka Turun 0,30% Mengawali Bulan November 2024, Mengekor Bursa Global Oleh sebab itu, alokasi untuk
inflow dana asing ke Indonesia pasti ada dan terbuka. Apalagi, dengan adanya pemerintahan baru yang memberikan optimisme baru bagi pelaku pasar dan investor untuk mengejar target pertumbuhan ekonomi di 8% pada tahun depan. Para investor asing juga akan memperhatikan sektor yang memiliki korelasi positif terhadap rencana kerja pemerintah, terutama dengan adanya program makan bergizi gratis. “Aliran dana asing yang keluar itu sementara ini masuk ke China, karena masih dinilai sangat menarik bagi para investor asing,” tuturnya. Nico melihat, para investor asing juga akan segera melakukan
rebalancing portofolio investasi mereka menjelang tahun baru. Hal tersebut bisa membuat para investor asing kemungkinan kembali masuk bertransaksi di pasar saham domestik. “Sektor yang dilihat menarik bagi para investor asing adalah sektor
consumer non-cyclical, consumer cyclical, keuangan, energi, properti, dan otomotif,” ungkapnya.
Baca Juga: Intip Capaian Laba Emiten EBT Hingga Kuartal III-2024 Beserta Rekomendasi Sahamnya Praktisi Pasar Modal dan Founder Stocknow.id Hendra Wardana melihat, keluarnya dana asing dari pasar saham menunjukkan kehati-hatian yang meningkat dari investor asing terhadap pasar saham domestik. Penyebab utama keluarnya dana ini beragam. Mulai dari kekhawatiran terhadap ketidakpastian ekonomi global, hingga penilaian bahwa pasar saham Indonesia saat ini kurang menarik dibandingkan pasar atau instrumen investasi lain. Musim rilis laporan keuangan kuartal III biasanya menjadi daya tarik bagi investor. Namun, hasil laporan yang mungkin tidak memenuhi ekspektasi atau bahkan volatilitas ekonomi global bisa saja menurunkan minat asing. “Selain itu, dana yang keluar ini cenderung berpindah ke aset yang lebih aman, seperti obligasi atau ke negara-negara dengan fundamental ekonomi lebih stabil,” kata Hendra kepada Kontan.co.id, Kamis (31/10). Kekhawatiran investor asing bisa juga dipicu oleh keputusan Indonesia untuk bergabung dengan BRICS. Masuknya Indonesia ke aliansi non-barat, seperti BRICS, dapat menimbulkan sentimen negatif bagi investor barat yang berpengaruh di pasar Indonesia. Terutama, jika melihat ketegangan politik global dan potensi perubahan kebijakan dari negara-negara barat, seperti Amerika Serikat.
Baca Juga: Adu Kuat Kokok Emiten Unggas di Kuartal III-2024 Menurut Hendra, investor asing mungkin merasa khawatir jika kebijakan ekonomi Indonesia bergeser ke arah yang lebih condong pada BRICS, sementara AS cenderung memiliki pandangan yang kurang sejalan dengan BRICS. Apalagi, potensi kemenangan Trump cukup besar dalam Pemilu AS kali ini. “Jika hubungan dengan negara-negara barat menjadi lebih tegang, ini bisa berdampak pada aliran dana asing ke pasar modal domestik, karena investor cenderung menghindari risiko geopolitik,” katanya. Prospek aliran masuk dana asing di sisa tahun 2024 hingga 2025 pun masih banyak menemui tantangan. Misalnya, dari hasil pemilihan presiden di AS dan potensi kenaikan suku bunga oleh bank sentral dunia. Di sisi lain, sentimen positif yang bisa menarik dana asing juga ada. Seperti, stabilitas politik dalam negeri, kebijakan fiskal yang pro-pertumbuhan, dan fundamental ekonomi yang solid. “Jika tren aliran dana asing masih keluar, besar kemungkinan dana tersebut akan mengalir ke aset yang lebih aman, seperti obligasi AS atau pasar saham di negara-negara dengan prospek pertumbuhan stabil dan risiko yang lebih rendah,” ungkapnya.
Baca Juga: Saham ADMR Masuk Blue Chip Mulai November 2024, Analis Kompak Sarankan Beli Beberapa saham, seperti BBRI, BMRI, dan BBCA, menjadi pilihan yang banyak dijual asing. Penyebabnya kemungkinan karena aksi profit taking atau perubahan portofolio yang mencerminkan kehati-hatian para investor asing. Emiten yang berpotensi dilepas asing dalam waktu dekat bisa jadi adalah saham-saham yang bergantung pada sentimen domestik, seperti sektor perbankan dan energi.
“Sementara, saham yang prospektif di mata asing ke depannya kemungkinan berasal dari sektor infrastruktur dan energi terbarukan. Ini mengingat dukungan BRICS terhadap energi hijau dan infrastruktur di negara berkembang,” tuturnya. Hendra pun menilai PT Perusahaan Gas Negara Tbk (
PGAS), PT Surya Citra Media Tbk (
SCMA), PT Blue Bird Tbk (
BIRD), dan PT Bank Syariah Indonesia Tbk (
BRIS) masih menarik untuk dilirik dengan target harga masing-masing Rp 1.655 per saham, Rp 150 per saham, Rp 2.200 per saham, dan Rp 3.200 per saham. “Di tengah ketidakpastian dan kekhawatiran akibat bergabungnya Indonesia dengan BRICS, saham-saham tersebut menawarkan prospek stabilitas serta pertumbuhan yang bisa memikat minat asing jika sentimen global kembali mendukung,” tuturnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati