KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyoroti tekanan yang membayangi pasar keuangan, termasuk di bursa saham. Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar menyebut sejumlah faktor yang mendorong volatilitas di pasar saham, obligasi, dan nilai tukar. Dari faktor eksternal, ada ketidakpastian baik dari
higher for longer suku bunga global maupun peningkatan tensi geopolitik. Mahendra mengamati peningkatan aksi jual atau
sell-off di pasar obligasi Amerika Serikat (AS) sejalan dengan meningkatnya ekspektasi suku bunga
higher for longer, serta peningkatan pasokan US Treasury untuk membiayai defisit AS. "Kenaikan
yield surat utang di AS telah meningkatkan tekanan
outflow dari pasar
emerging markets termasuk Indonesia, mendorong pelemahan terutama di pasar nilai tukar dan pasar obligasi secara cukup signifikan," kata Mahendra dalam konferensi pers Rapat Dewan Komisioner (RDK) OJK secara virtual, Senin (30/10).
Tekanan lainnya datang dari risiko geopolitik global yang semakin meningkat, seiring konflik Israel dan Hamas. Situasi ini berpotensi mengganggu perekonomian dunia secara signifikan apabila terjadi eskalasi di Timur Tengah.
Baca Juga: Beda Arah, Intip Harga Saham GOTO dan UNVR di Perdagangan Bursa Senin (30/10) Di Eropa, kinerja ekonomi diprediksi masih mengalami stagflasi. Sementara di China, pemulihan ekonomi masih belum sesuai ekspektasi dan kinerja ekonomi yang masih di level pandemi. Kondisi ini meningkatkan kekhawatiran bagi pemulihan perekonomian global. Dari domestik, tingkat inflasi sebesar 2,28% (YoY), masih sejalan dengan ekspektasi pasar sebesar 2,2%. Namun, perlu dicermati tren kenaikan inflasi bahan makanan terutama komoditas beras dan gula di tengah potensi penurunan produksi global akibat El Nino. Terlebih, daya beli masih tertekan tercermin dari inflasi inti yang kembali turun, serta penurunan indeks kepercayaan konsumen serta kinerja penjualan ritel yang rendah. Angin segar masih berembus dari PMI Manufaktur yang tetap berada di zona ekspansi dan neraca perdagangan yang masih mencatatkan surplus. Anggota Dewan Komisioner OJK merangkap Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan Bursa Karbon, Inarno Djajadi menimpali, pasar juga merespons langkah yang diambil oleh Bank Indonesia dalam mengerek naik suku bunga acuan ke level 6%. "Memang ada
adjusment terkait kenaikan suku bunga," ujar Inarno.
Baca Juga: IHSG Turun 0,34% ke 6.735 Hari Ini (30/10), AMRT, TOWR, INCO Top Gainers LQ45 Inarno bilang, OJK juga akan mencermati dampak kenaikan tingkat suku bunga acuan terhadap cost of fund serta untuk penerbitan obligasi maupun sukuk. "Tentunya kami melakukan monitoring terhadap perubahan. Kami memiliki kewenangan mengambil langkah-langkah apabila diperlukan," imbuhnya. Inarno menerangkan, hingga perdagangan Jumat (27/10), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah 2,61% secara
month to date (MtD). Sampai akhir pekan lalu, IHSG parkir di posisi 6.758,79. Dibandingkan level IHSG pada September 2023 yang masih ada di 6.939,89. Inarno menerangkan, posisi
non-resident (dana asing) mencatatkan arus dana keluar
(outflow) sebesar Rp 6,37 triliun secara MtD. "Beberapa sektor di IHSG pada Oktober 2023 masih menguat di antaranya sektor infrastruktur dan sektor
healthcare," ujar Inarno. Adapun, posisi
non-resident membukukan
net sell senilai Rp 11,61 triliun secara
year to date (YtD) sampai akhir pekan lalu. Dari sisi likuiditas transaksi, rata-rata nilai transaksi pasar saham di Oktober 2023 turun menjadi Rp 10,32 triliun (MtD) dan Rp 10,47 triliun (YtD).
Baca Juga: Data Inflansi dan Laporan Keuangan Jadi Salah Satu Faktor Pegerakan IHSG Sepekan Mengawali awal pekan ini, Senin (30/10) IHSG kembali terkapar. IHSG ditutup merosot 0,34% ke level 6.735,89. Secara YtD IHSG bergerak melemah sebanyak 1,67%. Menurut Inarno, tekanan terhadap pasar tidak hanya dialami oleh Indonesia. Bahkan, jika dibandingkan dengan negara tetangga, Inarno menyebut pasar saham Indonesia lebih punya daya tahan. Inarno lantas membandingkan pergerakan YtD indeks di Thailand yang sudah terkoreksi 16%, Malaysia 3,8% dan Singapura 5,83%. "Jadi tentu kami terus melihat perkembangan yang ada, dan mengantisipasi kalau sekiranya perlu melakukan tindakan tertentu," tandas Inarno.
Baca Juga: IHSG Dibuka Memerah ke Level 6.744,26 Mengekor Bursa Regional, Senin (30/10) Beralih ke sisi penghimpunan dana di pasar modal, Inarno menyampaikan jumlahnya masih tinggi, yakni mencapai Rp 204,14 triliun. Jumlah emiten baru di Bursa Efek Indonesia pun sudah mencapai 73 perusahaan sepanjang tahun berjalan ini. "Penghimpunan dana per Oktober ini telah memenuhi capaian target di tahun 2023.
Pipeline penawaran umum masih terdapat 97 dengan perkiraan nilai indikatif sebesar Rp 54,48 triliun yang di antaranya merupakan rencana IPO oleh emiten baru sebanyak 65 perusahaan," terang Inarno. OJK juga menanti Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang akan menggelar
initial public offering (IPO). Menurut Inarno, Menteri BUMN Erick Thohir menyatakan dorongan bagi BUMN untuk melaksanakan IPO. "Saya belum berani mengatakan berapa besarnya, karena
filling-nya belum terlihat, nanti pada saatnya akan kami jelaskan," tandas Inarno. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati