JAKARTA. Kalangan industri kelapa sawit nasional mendukung penuh penurunan emisi karbon 29% yang menjadi target kesepakatan dari Conference of Parties (COP) atau Konferensi Perubahan Iklim ke-21 yang berlangsung di Paris, Prancis, pada 30 November 2015–1 Desember 2015. Bayu Krisnamurthi, Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit bilang, program B20 atau mandatori campuran biodiesel sebanyak 20% untuk solar menjadi salah satu program unggulan Indonesia dalam mendukung COP 21. Menurut Bayu, program B20 berkontribusi terhadap penurunan emisi sebesar 9,4 juta ton–16 juta ton CO2 per tahun. Selain itu, mengurangi sekitar 7%-13% dari total emisi gas buang di sektor transportasi. Program B20 juga mengurangi ketergantungan impor solar sebanyak 15,5% atau senilai kurang lebih Rp 36 triliun.
Hingga saat ini, lanjut Bayu, dana CPO Fund yang terkumpul dari 157 eksportir nilainya Rp 5 triliun. Sampai 25 November 2015, BPDP Sawit telah merealisasikan penyerapan biodiesel 223.000 kiloliter (KL). Lalu, sampai 11 Desember 2015, BPDP Sawit telah menyerap biofuel 303.000 KL. Hingga akhir tahun ini, Bayu memperkirakan akan ada tambahan penyerapan biodiesel sebesar 72.000 KL. Alhasil, total penyaluran biodiesel selama program dana pungutan kelapa sawit berjalan dari September-Desember 2015 bisa mencapai 375.000 KL. Bayu menambahkan, subsidi dari dana pungutan CPO yang telah dikucurkan untuk membeli biofuel hingga 11 Desember 2015 mencapai Rp 113 miliar. Sisanya akan segera dibayar Rp 105 miliar dan yang masih dalam proses verifikasi sebesar Rp 246 miliar. Tuntutan Uni Eropa Cuma, rencana penggunaan dana pungutan CPO untuk penanaman kembali lahan kelapa sawit masih jalan di tempat. Padahal, BPDP Sawit sudah merencanakan penanaman kembali di atas lahan 2.500 hektare (ha). "Proses penanaman kembali tidak semudah itu," ungkap Bayu. Bayu menghitung, supaya efektif, penanaman kembali harus dilakukan di atas lahan minimal seluas 400 ha–600 ha dari 150 petani. Namun, tidak mudah mengumpulkan petani sebanyak itu. Apalagi, dana CPO Fund juga tak bisa membiayai penanaman lahan yang belum dibuka. Artinya, dana pungutan CPO cuma bisa menutup 50% biaya penanaman lahan. Sisanya masih harus dicari dari pinjaman bank. Bayu menjelaskan, negara-negara Uni Eropa menuntut tiga komoditas yang masuk ke negaranya, yaitu sawit, tekstil, dan tambang memiliki rantai pasok yang berkelanjutan 100% pada tahun 2020. "Sawit Indonesia siap memenuhi hal tersebut," ujar Bayu di Jakarta, Senin (14/12). Bayu mengklaim, saat ini Indonesia sudah memproduksi 6 juta ton crude palm oil (CPO) per tahun yang mengantungi sertifikat berkelanjutan. Sementara kebutuhan CPO Uni Eropa 7,3 juta ton per tahun, di mana Indonesia memasok 4 juta ton per tahun atau lebih dari separuhnya.
Ketua Serikat Petani Kelapa Sawit Indonesia (SPKS) Mansuetus Darto bilang, saat ini CPO Fund belum menyentuh hulu, yaitu lahan kelapa sawit. Padahal, luas lahan sawit milik petani yang butuh replanting pada tahun depan mencapai 4.000 hektare (ha). Replanting penting dilakukan lantaran dari 10 juta ha lahan sawit yang ada di Indonesia, sebanyak 45% milik petani. Namun, produktivitas lahan petani sawit masih rendah, yaitu hanya 14 ton tandan buah segar (TBS) per ha. Darto menambahkan, replanting seharusnya bisa dilakukan lebih cepat. Sebab, jika menggunakan skema kredit, kebutuhan dananya Rp 25 juta per ha, tidak sampai Rp 50 juta per ha seperti standar pemerintah. "Kami juga butuh bibit dan pupuk," katanya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Havid Vebri