Dana kelolaan ETF bertambah gemuk



JAKARTA. Dana kelolaan pada exchange traded fund (ETF) berkembang biak sepanjang Januari lalu. Di periode tersebut, produk reksadana yang unit penyertaannya bisa diperdagangkan di bursa tersebut berhasil mencetak kenaikan dana kelolaan sebesar Rp 970 miliar, dibandingkan dengan posisi di akhir tahun 2016.

Mengacu data Infovesta Utama per Januari 2017, dana kelolaan reksadana jenis ETF mencapai Rp 7,4 triliun atau naik 15,08% dibanding bulan sebelumnya yang tercatat sebesar Rp 6,43 triliun. Jumlah unit penyertaan ETF juga melonjak 50% dari semula 4,84 miliar menjadi 7,26 miliar di periode yang sama.

Wawan Hendrayana, Senior Research & Investment Analyst Infovesta Utama mensinyalir, kenaikan dana kelolaan ETF sepanjang Januari lalu disebabkan maraknya produk baru yang diterbitkan manajer investasi. Memang, PT Indo Premier Investment Management baru saja menelurkan reksadana ETF berbasis surat berharga negara (SBN) di akhir bulan lalu.


ETF baru tersebut bertajuk Premier ETF Indonesia Sovereign Bonds (Premier ETF INDOSOB). Reksadana ini mendapat kode XISB di bursa. "Memang minat investor besar sekali, terlihat dari dana yang masuk hampir Rp 1 triliun," cetus Wawan, Selasa (21/2). Untuk produk ini, Indopremier menargetkan investor bisa memperoleh imbal hasil atau return sebesar 7,5%-8,25% sampai akhir tahun.

Jenis investor yang memburu produk ETF mayoritas masih berasal dari industri keuangan non bank (IKNB), semisal dana pensiun maupun asuransi. Sebab, melalui produk baru tersebut, IKNB dapat memenuhi kewajiban investasi SBN dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Senior Research Analyst Pasar Dana Beben Feri Wibowo bilang, investor juga memanfaatkan momentum koreksi pasar di Januari dengan mengakumulasi ETF. "Investor memiliki asumsi dan keyakinan kondisi pasar akan cenderung rebound menyusul kondisi ekonomi dalam negeri yang dinilai masih baik," papar dia.

Sebagai catatan, sepanjang Januari 2017, indeks LQ45 merosot 0,82% dibanding bulan sebelumnya. Di periode yang sama, Jakarta Islamic Index (JII) turun 0,69%. Begitu pula dengan indeks SRI-KEHATI yang merosot 0,49% dan indeks IDX30 yang menyusut sekitar 0,54%.

Seperti diketahui, katalis negatif memerahnya pasar domestik bersumber dari antisipasi investor terhadap realisasi rencana Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, seperti anggaran belanja infrastruktur maupun pemangkasan pajak. Jika Trump benar-benar mewujudkan wacana tersebut, besar peluang dana investor asing angkat kaki dari pasar keuangan negara berkembang, termasuk Indonesia.

Rupiah stabil

Walau begitu, Beben tetap optimistis dana kelolaan pada industri ETF di tahun ini akan bertambah antara 20%-25% lagi. Namun dengan catatan, nilai tukar rupiah tetap terjaga stabil. Kemarin (21/2), nilai tukar rupiah di pasar spot melemah 0,13% menjadi Rp 13.372 per dollar AS.

Selain nilai tukar mata uang Garuda, laju inflasi diharapkan tetap terkendali. Adapun target inflasi Indonesia tahun ini dipatok pemerintah ada di kisaran 4%-4,5%.

Namun, Beben mengingatkan investor mewaspadai beberapa tantangan. Mulai dari spekulasi kenaikan suku bunga acuan AS, kondisi perekonomian China dan Eropa yang masih limbung, hingga rencana kebijakan dan ekonomi Negeri Paman Sam. Faktor-faktor tadi dapat mempengaruhi pasar dalam negeri.

Di sisi lain, Wawan memprediksi dana kelolaan industri ETF meningkat mencapai posisi Rp 10 triliun akhir tahun ini. Minat investor terhadap produk ETF disinyalir bakal melesat. Sebab, ETF lebih likuid ketimbang produk reksadana konvensional. "Hari itu juga bisa langsung jual. Banyak institusi yang lebih suka trading lewat ETF karena lebih mudah prediksi indeks ketimbang satuan saham," jelas dia.

Terlebih lagi, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berpotensi menguat hingga sekitar 10% pada tahun ini, ditopang fundamental dalam negeri yang baik. Sementara return investasi obligasi diduga berkisar 7%-8%. "Obligasi meskipun masih tumbuh, ada potensi suku bunga untuk naik," jelas Wawan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie