KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Ketidakpastian global membuat banyak orang menarik investasi mereka dari reksadana. Dana kelolaan atau Asset Under Management (AUM) reksadana diproyeksi turun lebih lanjut. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Nilai Aktiva Bersih (NAB) reksadana tercatat sebesar Rp 482,23 triliun atau turun 3,83% ytd dan tercatat net redemption sebesar Rp 75,94 triliun ytd pada 31 Mei 2024. Investasi reksadana di 5 bulan pertama tahun 2024 ini, berbalik dari tren net subscription (beli bersih) di sepanjang tahun 2023 lalu yang sebesar Rp8,98 triliun. Industri reksadana tahun ini kembali tertekan seperti tahun 2022, dengan catatan net redemption sebesar Rp 78,34 triliun di sepanjang tahun tersebut.
CEO PT Pinnacle Persada Investama (Pinnacle Investment), Guntur Putra, menilai bahwa investor saat ini cenderung perhatian terkait perlambatan ekonomi global dan juga kondisi domestik terkait kebijakan fiskal. Ditambah lagi, pelemahan rupiah terjadi di tengah tingkat suku bunga tinggi di Amerika Serikat (AS) masih berlanjut. Baca Juga:
Sinarmas Asset Management Luncurkan Reksadana Indeks Simas Sri Kehati Secara tidak langsung faktor tersebut menciptakan ketidakpastian jangka pendek. Sehingga, banyak investor memilih
wait and see dan menghindari portofolio aset dasar (
underlying) reksadana saham yang dianggap memiliki risiko tinggi atau yang secara fundamental kurang baik. Guntur menyebutkan, penurunan dana kelolaan reksadana ini berkaitan dengan koreksi pasar ekuitas yang terjadi sejak awal tahun 2024. Ini terlihat dari berkurangnya investasi di reksadana saham dan ETF. Asal tahu saja, dana kelolaan atau Asset Under Management (AUM) reksadana tercatat sekitar Rp 504 triliun per 31 Januari 2024. AUM industri reksadana telah berkurang sekitar Rp 19 triliun menjadi Rp 485 triliun dengan reksadana saham catatkan arus keluar terbesar sekitar Rp 10 triliun. Selain karena penurunan performa aset dasar, Guntur menambahkan, investor menarik dananya dari investasi mungkin karena alasan-alasan tertentu, seperti kekhawatiran terhadap kinerja pasar yang tidak stabil atau karena adanya peluang investasi yang lebih menarik di tempat lain. “Dana yang ditarik mungkin dialihkan ke instrumen investasi yang dianggap lebih aman atau potensial, seperti obligasi atau pasar uang,” kata Guntur kepada Kontan.co.id, Rabu (12/6). Namun, Guntur berujar, perlu dicatat bahwa
net redemption reksadana bisa saja merupakan bagian dari siklus investasi yang normal, tergantung pada kondisi pasar dan sentimen investor pada waktu tertentu. Menurut Guntur, prospek dana kelolaan reksadana secara keseluruhan masih cukup baik, walaupun untuk di semester kedua sulit diprediksi dengan pasti. Setidaknya terdapat beberapa faktor yang dapat memengaruhi pertumbuhan dana kelolaan diantarnya sentimen pasar, kebijakan moneter, kinerja ekonomi global dan domestik, serta perkembangan politik dan geopolitik. “Pertumbuhan dana kelolaan mungkin akan terjadi jika kondisi pasar membaik dan kepercayaan investor kembali pulih,” imbuhnya.
Baca Juga: Ini Penyebab Terjadi Net Redamption di Industri Reksadana Sepanjang Tahun 2024 Guntur melihat, peningkatan dana kelolaan dapat terjadi dari kelas aset reksadana yang menarik minat investor, seperti reksadana obligasi jika suku bunga naik, atau reksadana saham dari sektor-sektor yang dianggap potensial. Namun, jika ketidakpastian pasar terus berlanjut, tidak menutup kemungkinan dana kelolaan mungkin akan tetap stagnan atau bahkan mengalami penurunan lebih lanjut. Di samping itu, Guntur mengatakan bahwa untuk menunjang pertumbuhan AUM reksadana secara keseluruhan, perlu dikaji ulang untuk regulasi produk reksadana offshore diluar dari syariah. Sebab, instrumen investasi di Indonesia tersebut sangat terbatas dimana investor tidak dapat melakukan diversifikasi portfolio investasi secara global dengan cara yang lebih efisiensi biaya (cost-efficient). Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Anna Suci Perwitasari