Dana kelolaan reksadana syariah naik tipis di Oktober



JAKARTA. Dana kelolaan reksadana syariah kembali bergerak naik. Per akhir Oktober, dana kelolaan reksadana syariah senilai Rp 5,49 triliun, meningkat Rp 137 miliar dari posisi per akhir September. Sepanjang September, dana kelolaan reksadana syariah sempat turun 4,46% dari outstanding per akhir Agustus, yaitu Rp 5,60 triliun.

Merujuk data Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam LK), peningkatan dana kelolaan terjadi di hampir seluruh jenis reksadana syariah. Reksadana syariah campuran naik menjadi Rp 1,1 triliun dari posisi Rp 1,04 triliun.

Reksadana syariah indeks juga meningkat menjadi Rp 127 miliar per akhir Oktober 2011 dibandingkan bulan sebelumnya, Rp 115 miliar. Lalu, reksadana syariah pendapatan tetap meningkat dari Rp 491 miliar per akhir September menjadi Rp 524 miliar, akhir Oktober. Reksadana syariah saham naik dari posisi Rp 1,52 triliun menjadi Rp 1,59 triliun.


Adapun reksadana syariah terproteksi turun dari sebelumnya Rp 2,18 triliun menjadi Rp 2,14 triliun pada Oktober 2011. Jumlah produk reksadana syariah yang beredar di pasar tidak mengalami perubahan, tetap 52 reksadana.

Michael Tjandra Tjoajadi, Presiden Direktur Schroder Investment Management, mengakui perkembangan reksadana syariah lebih lambat dibandingkan reksadana konvensional. Dana kelolaan reksadana syariah di Scroder hingga akhir Oktober 2011 sekitar Rp 400 miliar.

Dari total tersebut, sekitar Rp 200 miliar merupakan reksadana syariah campuran sedangkan Rp 200 miliar lainnya merupakan kontrak pengelolaan dana (discretionary fund). "Jika dibandingkan dengan total dana kelolaan kami yang Rp 58 triliun, angka itu sangat kecil," ujar Michael.

Dia menyebut, ada beberapa faktor yang menyebabkan laju pertumbuhan reksadana syariah di Indonesia tidak sepesat perkembangan produk itu di Malaysia. Salah satunya masalah pajak syariah.

Di Malaysia masalah pajak industri syariah sudah disederhanakan. "Sedang di Indonesia dikenakan pajak berganda untuk transaksi syariah," tutur Michael.

Di saat pemerintah Indonesia akhirnya membenahi masalah pajak, langkah itu sudah sudah terlalu terlambat. Instrumen syariah di Indonesia sudah telanjur dipersepsikan terkena pajak ganda.

Kendala lain adalah pilihan instrumen yang bisa dimanfaatkan sebagai aset dasar reksadana syariah, masih terbatas. Sumber daya manusia di industri ini juga sedikit. "Lulusan baru dari universitas tidak banyak yang melirik untuk bekerja di industri keuangan syariah," ujar dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dupla Kartini