Dana repatriasi, PR utama tax amnesty



JAKARTA. Besarnya jumlah harta yang diajukan dalam program pengampunan pajak atau tax amnesty memang terbilang besar. Bahkan jika dibandingkan dengan beberapa negara yang pernbah melaksanakan program tax amnesty, Indonesia merupakan yang terbesar.

Berdasarkan data Ditjen Pajak, jumlah harga Warga Negara Indonesia yang dilaporkan lewat tax Amnesty mencapai Rp 2.514 triliun. Jika dibandingkan dengan Italia yang pernah juga menjalankan program yang sama, perolehannya setara Rp 1.179 triliun.

Namun, dari sekian banyaknya harta itu, jumlah harta yang dialihkan ke dalam negeri hanya sebesar Rp 128 triliun saja, atau hanya sekitar 5,1%-nya. Artinya, pemerintah masih belum berhasil untuk merayu WNI yang memiliki harta di luar negeri agar memindahkannya ke dalam negeri.


Padahal, pemerintah secara tegas mengatakan, tujuan dari pelaksanaan tax amnesty ini prioritasnya adalah agar WNI memindahkan hartanya kedalam negeri alias repatriasi. "Ini pekerjaan rumah pemerintah yang harus diselesaikan di periode kedua tax amnesty," ujar praktisi pajak CITA Yustinus Prastowo, Rabu (28/9). Periode kedua Tax Amnesty akan dimulai bulan Oktober - Desember 2016. 

Menurut dia, pemerintah harus melihat para Wajib Pajak sebagai calon investor. Ketika tarif tebusan menjamin kurang menarik, pemerintah sebaiknya menawarkan layaknya pada calon investor: kemudahan berinvestasi dan tawaran return yang menguntungkan agar mau berinvestasi di Indonesia.

Jika hanya deklarasi, maka pemerintah hanya akan mendaptkan tax based tambahan saja. Sedangkan jika dari uang tebusan, pemerintah hanya mendapatkan keuntungan kondisi cash flow yang lebih sehat.

Selain itu, Yustinus juga menyinggung tata kelola perpajakan yang belum berjalan. Untuk itu, Ia mendesak perbaikan tata kelola, atau reformasi perpajakan segera dilakukan melalui perubahan Undang-undang tentang Ketentuan Umum Perpajakan, UU PPh dan lain-lain.

Karena perbaikan tata kelola perpajakan menjadi salah satu pertimbangan bagi WNi pemilik dana di luar negeri. Misalnya saja, tarif Pajak Penghasilan (PPh) di Indonesia yang belum kompetitif dibandingkan tarif di Singapura.

Ini yang mnejadi salah satu pertimbangan mereka, tidak mau menempatkan harta mereka lebih panjang di Indonesia. Namun demikian, menetapkan tarif dengan sama besar seperti SIngapura juga belum tentu menarik.

Penurnan tarif, jika diperlukan, lebih baik secara gradual atau bertahap. Jika saat ini tarif PPh badan masih sebesar 25%, ia menyarankan, diturunkan secara bertahap ke 22% lebih dulu, kemudian dievaluasi.

Nah, jika diperlukan turun lebih rendah, baru diubah lagi. Sebab, jika langsung turun ke level yang sangat rendah, akan sangat sulit ketika pemerintah ternyata kondisinya mengharuskan menaikan tarif.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Sanny Cicilia