Dana restorasi gambut harus G to G



JAKARTA. Pendanaan asing baik hibah maupun pinjaman untuk kegiatan Badan Restorasi Gambut (BRG) harus menjadi kebijakan Government to Government (G to G). Demikian diungkapkan pengamat ekonomi Aviliani di Jakarta, Selasa (8/3)

Kebijakan G to G, menurut Aviliani , menjamin penguatan transparansi dan akuntabilitas, sebaliknya pendanaan langsung kepada kelompok tertentu dan LSM lingkungan harus dihindari agar tidak menimbulkan kontroversi.

"Apalagi, masyarakat dan dunia usaha di Indonesia 'tidak percaya' kepada kredibilitas LSM lingkungan," katanya.


Aviliani juga meminta pemerintah mengumumkan nama-nama LSM terlibat dalam kegiatan restorasi tersebut.

"Masalahnya, banyak LSM yang tidak kredibel di sekitar pemerintahan. Mereka kerap mengatasnamakan lingkungan, namun mengusung kepentingan lain," katanya.

Menurut dia, pemerintah tidak boleh mengabaikan peran dunia usaha yang telah menginvestasikan dana cukup besar pada kegiatan sosial dan lingkungan.

"Jauh sebelum BRG berdiri, dunia usaha seperti industri kelapa sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI) telah membantu kehidupan sosial masyarakat dan merehabilitasi kawasannya," katanya.

Sementara pengamat Lingkungan dan kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Ricky Avenzora sependapat jika pendanaan BRG yang bersumber dari negara donor perlu diamati serta diawasi aturan mainnya.

"Jangan sampai negara dan bangsa kita diatur bangsa asing serta kemudian dijerat utang, tambahnya, sehingga semua pihak harus belajar dari pengalaman REDD (Reducing Emission from Deforeststasion and Forest Degradation)," katanya.

"Saya yakin Presiden Jokowi sangat paham duduk perkara kegagalan REDD, namun sayang presiden sepertinya belum merdeka dari jajahan para mafia donor lingkungan yang berkeliaran di sekitar beliau," katanya lagi.

Menurut Ricky , bukti keberhasilan dalam proses rehabilitasi hutan justru ditunjukkan perusahaan sawit dan HTI. Berbagai areal terbengkalai berupa padang alang-alang, semak belukar, ataupun hutan sekunder muda berhasil dihijaukan kembali oleh perusahaan sawit dan HTI.

Keanekaragaman hayati juga terus ditingkatkan melalui skema kewajiban High Conservation Value (HCV) dan berbagai sertifikasi lingkungan terkait.

"Untuk mewujudkan hal tersebut, sebaiknya pemerintah merangkul perusahaan-perusahaan terkait," ujarnya.

Ricky menyatakan, potensi finansial berbagai perusahaan sawit dan HTI di Indonesia jauh lebih dari cukup untuk menghijaukan semua kawasan hutan yang terbengkalai selama ini.

"Perlu kita ingat bahwa beban negara bukan hanya mencakup 2 juta hektare yang menjadi tanggung jawab BRG, melainkan mencapai 37 juta hektare yang rusak karena kekeliruan politik lingkungan pada masa lalu," kata dia.

Direktur Tropical Peat Research Laboratory (TPRL) Malaysia Lulie Melling mengatakan semua kegiatan pemanfaatan lahan perkebunan di Malaysia diatur pemerintah agar terintegrasi.

Pemerintah juga menaruh perhatian tinggi dan mendanai riset pemanfaatan lahan untuk menjaga keseimbangan ekologi dan ekonomi.

Dia menyatakan, semua kegiatan riset berlangsung dalam perencanaan jangka panjang yang hasilnya dihormati bersama.

Itu berarti, ketika pemerintah memberi izin konsesi, pemerintah juga melindungi kegiatan korporasi tersebut dari semua gangguan, termasuk kampanye hitam LSM yang juga marak di Malaysia.

"Pemerintah sangat memproteksi korporasi karena teruji dan memberi dampak bagi pertumbuhan ekonomi. Malaysia tiga kali terselamatkan dari krisis ekonomi karena peran industri perkebunan," kata Lulie Melling.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dikky Setiawan