Danantara Menghadapi Tantangan Tata Kelola dan Investasi, Begini Solusinya



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pembentukan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) digadang-gadang sebagai tonggak baru pengelolaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Danantara juga diharapkan menjadi instrumen strategis untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional hingga 8%.

Namun, di balik ambisi besar tersebut, muncul sejumlah catatan kritis terkait risiko tata kelola, politisasi, hingga kerentanan investasi global yang perlu diantisipasi sejak awal.

Pembentukan BPI Danantara melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 dan UU Nomor 16 Tahun 2025, dengan mandat utama mengonsolidasikan pengelolaan BUMN agar lebih efisien dan berdaya saing global. Nagara Institute mengingatkan, konsolidasi aset dalam skala besar juga membawa risiko sistemik jika tidak diiringi pengawasan dan tata kelola yang kuat.


Peneliti utama Nagara Institute, Satya Arinanto menyoroti besarnya risiko hukum dan tata kelola yang melekat pada Danantara, terutama mengingat skala aset yang dikelola diperkirakan mencapai US$ 900 miliar. Menurutnya, tanpa mekanisme transparansi dan pengawasan yang ketat, potensi penyalahgunaan aset dan investasi tidak produktif sulit dihindari.

Baca Juga: Danantara Siap Bangun 13 Tower dan Mall di Kampung Haji Mekah

Ia juga menyinggung risiko politisasi dalam pengambilan keputusan, termasuk potensi intervensi politik serta resistensi dari BUMN yang telah eksisting.

"Sejumlah BUMN bisa enggan melepas aset karena kekhawatiran kehilangan kendali, sehingga perlu strategi komunikasi dan insentif yang matang agar konsolidasi berjalan efektif," ujar dia, dalam keterangannya, Kamis (18/12).  

Selain itu, konsentrasi penguasaan aset yang terlalu besar berpotensi menghambat persaingan usaha di sektor tertentu. Sehingga regulasi yang menjaga keseimbangan antara peran negara dan swasta menjadi krusial.

Peneliti utama Nagara Institute yang lain, Edi Sewandono menyoroti, persoalan struktural yang selama ini membayangi kinerja BUMN dan berpotensi menjadi beban Danantara. Ia menyebut penurunan profitabilitas, inefisiensi operasional, serta peningkatan utang sebagai masalah fundamental yang belum terselesaikan.

"Lebih dari 80% BUMN menghadapi tantangan keberlanjutan bisnis. Ditandai oleh tingginya risiko value destruction, tumpang tindih bisnis, serta perbedaan kinerja antarperusahaan yang akan dikonsolidasikan," ujarnya. Kondisi ini dinilai memperbesar risiko salah urus, terutama jika praktik good corporate governance (GCG) tidak diperkuat.

Danantara harus bersiap menghadapi dinamika global yang juga dialami sovereign wealth fund (SWF) lain. Mulai suku bunga rendah, perubahan demografi, hingga ketegangan geopolitik. Pergeseran peta geopolitik global  berpotensi mempengaruhi arus investasi asing ke Indonesia, terutama jika muncul persepsi risiko politik tertentu.

Nagara Institute mendorong Badan Pengaturan BUMN memperkuat penerapan GCG melalui pemilihan direksi dan komisaris yang profesional dan bebas intervensi politik, dukungan kebijakan anggaran yang jelas, monitoring dan supervisi berkala, serta penerapan sistem reward and punishment yang tegas..

Selanjutnya: Asuransi Reliance Angkat Presiden Direktur Baru

Menarik Dibaca: 93S Siap Menjelma Jadi Siklon Tropis, Hujan Lebat Angin Kencang di Provinsi Ini

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News