Danareksa Investment: Investor mulai melakukan penyesuaian portofolio



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Memasuki kuartal keempat tahun ini, kondisi makro ekonomi Indonesia cukup menantang dimana nilai tukar rupiah melemah ke level Ro 15.200 per dollar Amerika Serikat (AS). 

Nilai ini melemah lebih dari 10% sepanjang tahun 2018. Intervensi Bank Indonesia (BI) melalui cadangan devisa dan menaikkan tingkat suku bunga acuan tidak terlalu ampuh dalam menjaga nilai tukar rupiah pada posisi yang ideal.

Meski demikian, kinerja perusahaan-perusahaan yang terdapat di bursa masih dapat berada pada teritori positif. Sektor-sektor yang bisnisnya banyak melakukan ekspor mengalami kenaikan penerimaan yang positif dari pelemahan nilai tukar. Kemudian sektor keuangan, spesifik emiten perbankan, juga mendapatkan tren positif, didukung oleh kenaikan tingkat pinjaman kredit perbankan pada tahun ini.


Edwin Ridwan, CFA, FRM, Chief Investment Officer PT Danareksa Investment Management (DIM) menjelaskan, angka pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berada di kisaran di atas 5% tertolong oleh membaiknya konsumsi masyarakat. 

Tingkat konsumsi rumah tangga pada tahun 2018 kembali membaik, tumbuh di atas 5%, setelah sejak tahun 2012 mengalami tren penurunan di bawah 5% pada tahun 2017. Selain konsumsi, Edwin menambahkan belanja pemerintah yang fokus pada infrastruktur turut mendongkrak perekonomian Indonesia, naik di atas 5% setelah pada akhir tahun lalu turun di bawah 4%. 

Kondisi Indonesia tergolong baik jika dibandingkan dengan negara-negara lain yang masuk dalam kategori negara berkembang karena masih dapat membukukan pertumbuhan ekonomi di atas tahun lalu pada saat negara berkembang lain seperti, Turki dan Argentina mengalami kontraksi dalam ekonominya.

Situasi ini tidak lepas dari adanya situasi global yang tidak kondusif akibat dari aksi Presiden AS, Donald Trump, yang mencanangkan penyesuaian tarif impor masuk AS dengan banyak negara mitra dagang mereka. 

Selain itu, ketegangan geopolitik antara AS-Iran juga menyebabkan kekhawatiran atas persediaan minyak global yang membuat harga minyak Brent naik di atas US$ 80 per barel, setelah sepanjang tahun 2018 berada di kisaran US$ 60 dollar per barel.

Ditambah dengan rencana banyak negara maju di dunia yang melakukan penyesuaian atas kebijakan moneter yang selama ini longgar mulai melakukan penyesuaian karena perekonomian yang semakin baik pada kawasan Eropa dan Amerika Serikat.

“Dampak dari kondisi ini membuat investor mulai melakukan penyesuaian portofolio yang selama ini menikmati pertumbuhan positif di negara berkembang, akhirnya mulai melakukan penambahan investasi ke negara maju dari negara berkembang,” jelas Edwin dalam siaran persnya, Jumat (16/11).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .