Danareksa Optimistis Ekspansi, Begini Prediksi Kondisi Ekonomi Kuartal II 2023



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Danareksa sebagai perusahaan holding BUMN multi sektor, tetap optimistis lakukan ekspansi bisnis di tahun ini. Danareksa melihat kondisi makro ekonomi yang masih positif khususnya pada kuartal kedua 2023.

Direktur Utama Danareksa, Yadi Jaya Ruchandi menyatakan, Danareksa masih cukup optimistis bisa melakukan ekspansi bisnis karena kondisi pandemi Covid-19 yang cukup terkendali. Adapun pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal kedua 2023 juga diperkirakan positif meskipun melambat dari kuartal sebelumnya. 

Pada kuartal keempat 2022, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia tercatat tumbuh 5,01% yoy, sedangkan pada kuartal I 2023 dan kuartal II 2023 diperkirakan tumbuh pada rentang 4,5%–4,9% yoy dan 4,3%–4,6% yoy. 


Pertumbuhan ekonomi pada kuartal kedua tahun ini akan didorong oleh peningkatan konsumsi masyarakat selama periode Ramadan dan Idul Fitri. Di sisi lain, kinerja ekspor diperkirakan tumbuh melambat sejalan dengan normalisasi harga komoditas global. 

Baca Juga: Ada Pemangkasan THR untuk PNS, Ekonom Bicara Dampaknya pada Konsumsi Masyarakat

Meskipun PDB diperkirakan melambat, namun pada kuartal pertama dan kedua tahun ini tekanan inflasi domestik diperkirakan menurun. Inflasi di akhir kuartal kedua 2023 juga diperkirakan berada pada rentang 4,2%-4,7%.

“Di tengah kenaikan BI7DRR, kenaikan suku bunga pinjaman bank masih relatif rendah. Hal ini mengindikasikan dukungan sektor keuangan pada pemulihan/pengembangan sektor riil,” kata Yadi kepada Kontan.co.id, Minggu (2/4). 

Adapun hingga saat ini, Yadi menilai pengeluaran pemerintah (government spending) juga telah dilakukan sesuai arah. Pada APBN 2023 belanja negara tercatat sebesar Rp 3.061,2 triliun. Anggaran tersebut akan digunakan untuk belanja peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), infrastruktur, reformasi birokrasi, revitalisasi industri, dan ekonomi hijau. 

Berdasarkan APBN tersebut proyek Infrastruktur Pemerintah termasuk pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) merupakan salah fokus penggunaan APBN. Tahap pertama pembangunan IKN berlangsung pada tahun 2022-2024 dengan fokus pembangunan pada Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) seluas 6.671 ha. Dari luas tersebut 75% di antaranya akan dipertahankan sebagai kawasan hijau. 

“Saat ini, tekanan dari ketidakpastian global mulai mereda serta cukup manageable, sehingga kecil kemungkinan terjadi realokasi APBN secara signifikan,” ujar dia. 

Baca Juga: Tahun 2024 Tak Berstatus Ibu Kota, Ekonom: Jakarta Berpeluang Tumbuh

Yadi juga melihat aktivitas konsumsi masyarakat pada kuartal II 2023 dalam tren meningkat meskipun belum kembali ke level sebelum pandemi. Peningkatan ini tercermin dari peningkatan indeks penjualan ritel yang didukung oleh normalisasi aktivitas ekonomi dan aktivitas di luar rumah serta peningkatan pendapatan rumah tangga dibandingkan periode pandemi Covid-19. 

Namun, peningkatan konsumsi hanya terjadi pada konsumsi makanan dan minuman, sedangkan konsumsi barang-barang lainnya masih relatif terbatas. Konsumsi masyarakat yang terbatas juga tercermin dari inflasi inti yang rendah sejak awal pandemi.

Mendekati tahun politik, Yadi menilai, secara umum tidak memberikan dampak yang signifikan pada penurunan aktivitas ekonomi. Berdasarkan data historis, dalam jangka pendek, tahun politik memberikan dampak pada penurunan penanaman modal asing di Indonesia. Hal ini karena investor yang menunggu kepastian akan arah kebijakan pemerintahan yang baru. Setelah pemerintahan baru terpilih, aktivitas penanaman modal asing kembali normal.

Sedangkan melihat sentimen bisnis secara global, Manajemen Danareksa juga menilai, tensi ketidakpastian global di 2023 relatif fluktuatif, sehingga masih ada kemungkinan terjadinya gejolak dan mempengaruhi perekonomian global. 

Baca Juga: Kinerja Industri Manufaktur Indonesia Sukses Ekspansif Tiga Bulan Beruntun

Namun, gejolak tersebut diperkirakan memiliki dampak yang tidak langsung pada perekonomian Indonesia, hal ini karena porsi perdagangan global Indonesia yang masih relatif rendah, yaitu sekitar 45% dari PDB jika dibandingkan dengan negara lain yang mencapai lebih dari 100%. 

Dampak gejolak tersebut pada perekonomian mungkin akan lebih terasa pada pasar keuangan, di mana investor akan menarik dananya dan memindahkannya ke instrumen yang relatif lebih aman. 

Dampak gejolak ekonomi global pada kinerja sektor riil di Indonesia diperkirakan rendah karena saat ini perbankan masih agresif dalam menyalurkan kreditnya untuk mendukung ekspansi bisnis.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati