KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) harus melakukan audit investigatif anggaran Kementerian Pertanian (Kemtan). Pasalnya, kenaikan anggaran hingga lebih 50% justru paradoksal dengan polemik data pangan yang membuat gaduh. Kenaikan anggaran harus diuji dengan dengan output yang dihasilkan, yakni peningkatan hasil produksi pertanian, terutama tanaman pangan. “Indonesia masih impor bahan pangan. Padahal anggaran sudah banyak (keluar). Berarti Kementerian Pertanian tidak berhasil. Menterinya harus tanggung jawab secara jabatan,” kata Pengamat Fiskal dari Universitas Pelita Harapan (UPH) Rony Bako, kepada wartawan di Jakarta, Selasa (6/10). Ronny menegaskan, audit menggunakan data BPS. Ia melihat ada hal yang cukup ganjil soal naiknya anggaran Kementerian Pertanian dari 2017 ke 2018 yang naik hingga 57,22%. Pada 2017, anggaran untuk Kementerian Pertanian pada APBN dialokasikan sebesar Rp 24,15 triliun, kemudian melonjak tajam menjadi sebanyak Rp 37,97 triliun.
“Boleh naik lebih dari 15%, tapi
outcome-nya dong. Ada manfaatnya nggak? Lakip (laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah) itu dievaluasi nggak?” ujarnya. Ia mengingatkan, outcome kinerja pertanian dapat dilihat dari beberapa indikator. Pertama mengenai kesejahteraan petani. Kedua mengenai kemampuan konsumen untuk membeli komoditas. Ia mencontohkan, Nilai Tukar Petani (NTP) petani pangan, khususnya padi, harusnya bertambah cukup banyak. Sementara itu, harga beras di tingkat konsumen juga harus terjaga. Secara umum, berdasarkan data BPS, Nilai Tukar Petani (NTP) nasional pada Oktober 2018 justru turun 0,14% secara month to month ke angka 103,02 dibandingkan September 2017. Penurunan disebabkan indeks harga yang diterima petani lebih kecil dari kenaikan indeks harga yang dibayar petani. Harga gabah kering panen di tingkat petani pada Oktober ini sendiri tercatat naik 0,98%. Namun sayangnya, kenaikan produksi petani ini tidak diimbangi oleh makin makmurnya petani-petani tanaman pangan tersebut, dilihat dari NTP petani pangan yang hanya meningkat 0,82% dibandingkan bulan sebelumnya. Sementara itu, harga beras pun diketahui mengalami fluktuasi sangat tinggi di tahun ini. Tak hanya beras, impor komoditas pangan juga sebenarnya terjadi di komoditas lainnya seperti jagung. Tingginya harga jagung di pasaran, membuat pemerintah terpakas membuka impor jagung sebanyak 100.000 ton. Padahal, Menteri Pertanian Andi Amran Sumlaiman mengklaim produksi jagung dalam negeri surplus bahkan mengekspor komoditas ini. Manajemen data buruk Direktur Centre For Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi pun menyayangkan apa yang diperbuat Menteri Amran tersebut. Rencana impor jagung itu, menurutnya, justru memperlihatkan buruknya manajemen data yang dimiliki Kementan. “Sebelumnya Kementan bilang kita surplus jagung, tapi sekarang minta impor jagung. Artinya, kita memang kekurangan jagung,” kata Uchok, di Jakarta, Selas (6/11). Menurutnya Amran seakan tak melihat dampak dari rencana tersebut. Impor jagung akan membuat para petani merugi. Selain itu, impor jagung juga ketidakberpihakan pemerintah kepada para petani. Tak hanya itu saja, Menteri Amran juga seolah-olah mencemooh ungkapan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menyatakan malu bila Indonesia melakukan impor secara terus menerus. “Mentan tidak menghargai perkataan Jokowi. Impor ini membuat hubungan yang tidak sehat di pemerintah,” jelasnya. Sayangnya, kata Uchok, Presiden Jokowi tak menindak tegas Menteri Amran. Khawatirnya, tindakan ini justru bisa menjadi preseden buruk di masyarakat. Senada dengan Rony, Uchok menegaskan, BPK harus untuk melakukan audit investigatif terhadap Kementan. Sebab, ia menilai, Kementan memliki banyak masalah kepada petani. "Sementara itu, apakah negara ini kekurangan pasokan jagung atau tidak, BPK tak akan sentuh ke sana,” kata Uchok. Makanya, Uchok berharap, Kepolisian, Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) hingga Kejaksaan untuk melakukan penyelidikan di Kementan. Ia menduga, lembaga tersebut memiliki banyak kasus yang tak terungkap ke publik. “Padahal temuan audit di Kementan banyak. Tapi 2014 sampai sekarang belum ada yang membuka kasus di Kementan,” tandasnya. Pandangan Uchok juga senada dengan pengamat politik LIPI Siti Zuhro. Ia menyatakan, kesalahan atau tak akuratnya penggunaan data pangan dipastikan bakal berakibat terhadap penilaian kinerja Pemerintah. Hal itu pula pasti bakal terkait dengan elektabilitas Jokowi yang kembali maju dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 mendatang. Apa yang menjadi perdebatan yang luas di masyarakat, tentu bakal menurunkan kepercayaan kepada Pemerintah. “Buntut lainnya, publik tak simpatik kepada Pemerintah dan ngaruh atau ngefek ke sosok Jokowi,” tandasnya.
*Update (16 Januari 2019, pukul 01.30 WIB): Hak Jawab Kementerian Pertanian atas artikel di atas Tak Ada Polemik Data Pangan, Kementan Sudah On The Track Jakarta – Kementerian Pertanian (Kementan) menjawab pandangan pengamat Fiskal Universitas Pelita Harapan (UPH), Rony Bako, dan Direktur Centre For Budget Analysis (CBA), Uchok Sky Khadafi, mengenai kinerja Kementan. Rony mempertanyakan penggunaan anggaran, dikaitkan dengan tingkat kesejahteraan petani. Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), Sekretaris Jenderal (Sekjend) Kementan Syukur Iwantoro menyampaikan Nilai Tukar Petani (NTP) November 2018 sebesar 103,12. Atau naik 0,09 persen dibanding NTP bulan sebelumnya. Kenaikan NTP dikarenakan indeks harga yang diterima petani (lt) naik sebesar 0,26 persen. Sedangkan indeks harga yang dibayar petani (lb) turun sebesar 0,17 persen. “Kenaikan NTP pada November 2018 disebabkan indeks harga hasil produksi pertanian mengalami kenaikan, sedangkan indeks harga barang dan jasa yang dibayar mengalami penurunan,” ujar Syukur mengutip pernyataan Kepala BPS Suhariyanto. Syukur menjelaskan, NTP merupakan salah satu indikator untuk melihat tingkat kemampuan atau daya beli petani di perdesaan. NTP juga menunjukkan daya tukar (terms of trade) dari produk pertanian dengan barang dan jasa yang dikonsumsi maupun untuk biaya produksi. Semakin tinggi NTP, secara relatif semakin kuat pula tingkat kemampuan daya beli petani. “Angka-angka rilis terbaru BPS ini menunjukkan arah pembangunan sektor pertanian sudah on the track (berada di jalur yang benar -red). Secara sederhana, bisa dikatakan pembangunan pertanian selama pemerintahan Jokowi-JK berhasil meningkatkan kesejahteraan petani”, pungkas Syukur. Produksi Jagung Surplus, Kenaikan Harga Anomali Sementara itu Uchok Sky Khadafi mendorong Kepolisian, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hingga Kejaksaan melakukan penyelidikan di Kementan. Ia mempertanyakan keputusan pemerintah mengimpor jagung saat Kementan menyebutkan produksi jagung surplus. Menteri Pertanian Amran Suaiman menegaskan, Pemerintah mengambil sejumlah langkah strategis untuk menyelamatkan peternak ayam layer mandiri. Anomali perkembangan harga jagung pakan telah membuat peternak mandiri terdesak. Salah satunya mengimpor jagung secara terbatas, sejumlah 100 ribu ton. Amran memastikan ini hanya untuk buffer stock (penyangga) dan pengontrol harga jagung di dalam negeri agar tidak terus melonjak. Kalkulasi Amran, impor jagung maksimal sebanyak 100 ribu ton tersebut relatif sedikit dibandingkan volume ekspor jagung sebanyak 380 ribu ton. "Dari rencana impor sebesar 100 ribu ton, saat ini sudah tersedia 73 ribu ton. 13 ribu di antaranya berada di Gudang Bulog Cigading. Sedangkan 60 ribu lainnya berada di Gudang Maspion Surabaya," kata Sekretaris Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Nasrullah, Rabu (19/12/2018). Nasrullah menjelaskan, jagung impor ini dijual Rp 4.000 per kilogram dalam bentuk curah. Untuk akses pembelian, peternak rakyat atau mandiri bisa mengambil melalui divisi regional masing-masing. Sekretaris Jenderal (Sekjend) Kementerian Pertanian (Kementan), Syukur Iwantoro pernah menyampaikan, dalam konteks penyediaan bahan kebutuhan pokok (dalam hal ini pangan), ekspor – impor adalah hal biasa. Terlebih Indonesia tergabung dalam Wolrd Trade Organization (WTO) atau organisasi perdagangan dunia. “Indonesia sebagai bagian dari warga global, akan terus konsisten mengikuti aturan yang berlaku di tingkat global, seperti WTO. Namun usaha dan upaya kita untuk kemandirian dan kedaulatan pangan, tidak boleh berhenti”, pungkas Syukur. Dekan Fakultas Pertanian Institut Ilmu Pertanian Bogor (IPB), Suwardi, menguatkan pendapat ini, bahwa untuk tujuan tertentu terkadang impor diperlukan. “Dari segi jumlah produksi untuk memenuhi kebutuhan jagung dalam negeri, produksi kita mungkin saja sudah mencukupi. Tetapi jumlah saja tidak cukup karena masih ada faktor lain”, ujar Suwardi. Peternak Puji Langkah Strategis Kementan Saat menunggu jagung impor tiba, Pemerintah berinisiatif mengusahakan jagung pakan bagi peternak ayam layer (petelur) mandiri. “Terus terang saya memuji usaha Kementan, khususnya ke Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH), Pak Dirjen Pak Ketut dan jajarannya. Betul-betul luar biasa untuk peternak dalam mengadakan jagung”, kata Awan Sastrawijaya, Peternak Ayam Petelur di Bandung, Jawa Barat. Ketua Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia Prof. DR. Ir. Ali Agus DAA. DEA menegaskan kebijakan Pemerintah mencari pinjaman jagung pakan untuk membantu peternak ayam layer (petelur) mandiri, adalah sesuatu yang sangat wajar. Juga tidak akan menganggu iklim investasi seperti yang dikhawatirkan sebagian kalangan. Menurutnya kebijakan ini justru perlu dilakukan sebagai langkah manajemen operasi dan stok dari sebuah industri. "Misalnya begini, ayam belum makan, makannya jagung. Jagungnya kalau ada digunakan kalau tidak ya pinjam dari tetangga. Itu kan namanya manajemen stok. Saya kira iklim investasi akan tetap sehat karena langkah ini jangka pendek. Kalau perlu kita apresiasi," ujar Ali beberapa waktu lalu. Kebijakan pinjam, kata Agus yang meraih gelar Doktor di EXSA Rennes - Perancis tahun 1996, merupakan hal biasa yang dilakukan di negara penghasil ternak seperti China dan Vietnam. Di sana, ketika panen raya berlangsung dan hasilnya melimpah ruah, maka keputusan yang diambil adalah ekspor. "Sebaliknya kalau hasil panen rayanya kurang mereka beli alias impor, atau pinjam. Kan sebenarnya ini hukum perdagangan internasional yang logis. Jadi saya kira tidak perlu alergi lah sama pinjam atau impor", katanya. Sebagaimana disampaikan Ketua Presidium Forum Peternak Layer Nasional Ki Musbar Mesdi, apabila tidak segera diantisipasi, kenaikan harga jagung bisa berdampak pada harga telur di pasaran. “Sebab, biaya jagung berkontribusi 50 persen dari total biaya produksi pakan”, kata Ki Musbar.(*) Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .