Dari 50 orang terkaya Indonesia, hanya 1 perempuan



JAKARTA. Oxfam Indonesia dan International NGO Forum on Indonesia Development (INFID) melaporkan adanya ketidaksetaraan gender dalam golongan orang terkaya di Indonesia. Hal ini mengindikasikan, peran perempuan dalam produktivitas sangat minim sehingga menyebabkan ketimpangan pendapatan di dalam negeri.

Berdasarkan laporan Oxfam dan INFID, ketidaksetaraan gender merupakan akar dari masalah ketimpangan yang terus mempengaruhi masyarakat, budaya, dan perekonomian untuk meniadakan hak-hak kaum perempuan. Padahal, IMF menemukan bahwa ketidaksetaraan gender dan ketimpangan pendapatan, berkorelasi erat, khususnya kaum perempuan yang kurang memiliki akses terhadap hak-hak mereka terhadap layanan kesehatan dan pendidikan.

Indonesia berada di peringkat 88 pada indeks ketimpangan gender dari World Economic Forum (WEF), jauh di belakang negara-negara tetangga ASEAN lainnya, seperti Filipina pada peringkat tujuh, Laos peringkat 43, dan Thailand peringkat 71.


Artinya, perempuan berpeluang lebih kecil untuk memiliki kekuatan dalam mengambil keputusan dan pengaruh atas kehidupan mereka sendiri dan masyarakat luas.

"Dari 50 orang terkaya di Indonesia, jumlah perempuan hanya satu orang. Begitu juga dari posisi manajemen tertinggi di suatu perusahaan, kaum perempuan hanya menduduki 5%-10%," kata Direktur Advokasi dan Kampanye Oxfam lntemasional Steve Price Thomas di Hotel Aryaduta, Kamis (23/2).

Di sisi lain, pekerjaan yang dilakukan perempuan secara sistematis kurang dihargai dan dianggap remeh. Hal tersebut menyebabkan perempuan lebih banyak menjalani pekerjaan dengan bayaran terendah dan lebih rentan terhadap kemiskinan.

Adapun ketimpangan upah antar gender di Indonesia mencapai 14,5%. Artinya, rata-rata pendapatan yang diperoleh kaum perempuan 14,5% lebih rendah dibanding kaum laki-laki.

Oleh karena itu, Oxfam dan INFID merekomendasikan agar pemerintah melakukan analisis secara sistematis usulan kebijakan yang berdampak pada kaum perempuan dan anak perempuan. Pihaknya juga mengusulkan agar pemerintah memperluas proses penganggaran berbasis gender dan mendukung organisasi perempuan agar ikut mengambil keputusan terkait belanja publik. penganggaran belanja publik.

Selain itu, pihaknya juga mengusulkan agar pemerintah mengubah Undang-Undang Perkawinan dengan meningkatkan batas usia minimum menikah dari 16 tahun menjadi 18 tahun dan menghapus ketentuan yang menyatakan bahwa suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Sanny Cicilia