Dari Adam Smith ke harga semen



JAKARTA. Adam Smith, memang menyebut metafora “invisible hand” hanya tiga kali dalam sejarah penulisannya. Masing-masing satu kali di buku The History of Astronomy (1758), The Theory of Moral Sentiments (1759), dan bukunya yang legendaris, The Wealth of Nations (1776). Namun, metafora ini menjadi populer dan paling banyak dikutip sepanjang sejarah ekonomi berkat peraih hadiah Nobel bidang ekonomi, Milton Friedman.

Teori invisible hand, Milton menjelaskan teori Smith, adalah kondisi setiap konsumen boleh memilih secara bebas apa yang bisa mereka beli. Demikian pula produsen boleh secara bebas memproduksi dan menjual jenis barang atau jasa apa pun. Pasar-lah yang lantas menyeimbangkan harga dan faktor distribusi, yang ujung-ujungnya alias bermuara pada keuntungan terbesar untuk masyarakat (individual of community).

Istilah Smith ini menarik jika kita ingat keputusan Presiden Joko Widodo yang mengumumkan menurunkan harga semen produk PT Semen Indonesia Tbk dan PT Semen Batu Raja sebesar Rp 3.000 per sak, Jumat (16/1), pekan lalu. Harga semen efektif mulai berlaku hari Senin, 19 Januari 2015.


Pasalnya, tak butuh waktu lama sejak pengumuman harga produk kedua badan usaha milik negara (BUMN) itu, perusahaan-perusahaan swasta langsung mengikuti. Sebut saja dua pemain besar, yaitu PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk (Indocement) dan PT Holcim Indonesia Tbk (Holcim).

Christian Kartawijaya, Direktur Utama Indocement, bilang, hanya butuh waktu empat hari hingga lima hari bagi perusahaan memangkas harga produknya sebesar 4%, mengikuti penurunan harga semen BUMN. Meskipun Christian berdalih, hitung-hitungan atas kemungkinan pemangkasan harga itu sebenarnya sudah dimulai awal Januari 2015.

Demikian pula Holcim. Kent Carson, Direktur Keuangan Holcim, barangkali tak secara tegas menyebut berapa persen harga semen Holcim akan dipangkas. Cuma, rencana pemangkasan itu memang ada, meski perusahaan asal Swiss ini merahasiakan hitung-hitungan formula hitungannya.

Sementara harga produk Indocement bisa turun sekitar 4% setelah menghitung harga bahan bakar minyak (BBM) dan ongkos produksi, misalnya tarif listrik dan bahan baku. Awalnya, imbuh Christian, perhitungan memang mengacu ke persentase penurunan harga semen BUMN. Setelah itu, barulah Indocement mengkalkulasi lebih detail beberapa komponen produksi tersebut.

BBM ternyata menyumbang ongkos biaya produksi sebesar 7%–8% per sak. Lantas, porsi biaya tarif listrik yang mencapai 20%–25% terhadap ongkos produksi. Sementara bahan baku ada di porsi paling besar di kisaran 50%–60%. Nah, setelah melihat harga minyak mentah, diikuti keputusan pemerintah menurunkan harga BBM, kemudian tingkat depresiasi rupiah terhadap dollar AS, ketemulah formulasi harga pemangkasan sebesar 4% tersebut.

Contohnya, tarif listrik hingga Januari 2015 sudah turun hingga 15%. “Karena ada penurunan (tarif dasar listrik) hingga 15%, maka kami melihat tidak akan membebani jika harga semen per sak kami turunkan agar bisa mengikuti pasar,” ungkap Christian.

Pasar semen

Meski pasar pada akhirnya menjadi penentu pembentuk harga, para pengusaha semen swasta menilai, keputusan pemerintah memangkas harga Rp 3.000 per sak tak akan mempengaruhi permintaan, kapasitas volume produksi, maupun stok barang di pasar.

Mereka lebih melihat, efek lanjutan atas penentuan harga akan membuat masing-masing perusahaan semen swasta mengkaji ulang tingkat efisiensi dan arus kas masing-masing. “Karena penyesuaian harga terjadi, maka penghematan perlu dilakukan untuk membantu meringankan dampak penurunan,” terang Carson.

Contoh konkretnya, Holcim saat ini masih mempelajari area mana saja alias faktor produksi apa saja yang perlu dihemat. Beberapa tahun terakhir, Holcim terus berhemat di sisi energi yang notabene merupakan salah satu faktor yang memakan berkontribusi terhadap biaya produksi. “Kami telah berhasil berhemat di sisi energi ini sejak tiga tahun berturut-turut,” tegas Carson.

Nah, pertanyaannya, invisible hand model apakah yang kiranya hendak diterapkan negara ini jika pemerintah mengatur harga semen domestik? Apalagi, keputusan memangkas produk semen BUMN kabarnya bersumber dari inisiatif perusahaan. Pasalnya, pangsa pasar Semen Indonesia sendiri sudah sekitar 44%. Angka itu belum termasuk penjualan semen Batu Raja.

Sekadar mengingatkan, usulan penurunan harga semen produk BUMN ini datang dari aksi efisiensi korporasi Semen Indonesia. Rini Mariani Soemarno, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), bilang, berdasarkan laporan Semen Indonesia, dengan merosotnya harga minyak dunia dan efisiensi produksi pabriknya, harga semen bisa turun sekitar Rp 3.000 per sak....

(Simak lanjutan berita ini di Tabloid KONTAN edisi 26 Januari - 1 Februari 2015)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Andri Indradie