KONTAN.CO.ID - Kecintaan pada tanaman membuka jalan Dedek Setia Santoso menerjuni dunia usaha. Ia mendirikan DD'Orchid Nursery pada 2005 lalu. Kini, Dedek pun bisa menuai omzet ratusan juta dengan berbisnis anggrek. Dedek menekuni budidaya anggrek setelah melihat potensi pasarnya yang besar. Apalagi, harga anggrek cenderung stabil dari tahun ke tahun. Lebih dari 10 tahun menekuni bidang ini, koleksi anggreknya sudah mencapai ribuan. Ia juga kerap melakukan penyilangan anggrek untuk mendapatkan varietas baru.
Selain itu, Dedek juga membibitkan anggrek. Rata-rata, benihnya diberikan kepada para petani plasma atau binaannya yang berada di Batu, Jombang dan Lumajang, Jawa Timur. Dalam sehari, dia dibantu 10 orang karyawan dan 15 karyawan magang untuk memproduksi sekitar 9.000 benih anggrek per bulan. Uniknya, Dedek tak memakai cara yang lazim dipergunakan oleh para akademisi. Laboraturium miliknya dibuat biasa dengan peralatan yang sederhana. "Saya punya cara sendiri untuk produksi seefisien mungkin," jelasnya. Dedek menjual benih anggrek dalam kemasan botol berisi 30 bibit. Harganya, Rp 40.000 per botol untuk pembelian partai besar dan Rp 75.000 sampai Rp 100.000 per botol untuk eceran. Sedangkan, anggrek siap berbunga dibandrol mulai dari Rp 150.000 sampai Rp 40 juta per tanaman. Pelanggannya berasal dari berbagai penjuru Indonesia. Bahkan, hingga luar negeri, seperti Thailand, Italia, Perancis, Belanda, Rusia, Jepang, Filipina dan lainnya. Namun, saat ini, Dedek hanya melayani pembelian benih partai besar dan anggrek sing berbunga. Untuk pembelian ritel disarankan untuk menghubungi para agen. Laki-laki berkulit sawo matang ini juga mengajak para karyawan magang untuk ikut menjadi agen. Caranya cukup mengunggah foto-foto anggrek koleksinya melalui media sosial atau marketplace. "Dengan begitu mereka bisa mempunyai bisnis sembari magang pertanian anggrek ditempat saya," tegasnya. Dedek melewati ratusan kali percobaan yang gagal Uang tabungan senilai Rp 25.000 dan pekarangan depan rumah yang hanya seluas 0,5 m² menjadi bekal Dedek Setia Santoso memulai bisnis pembibitan anggrek pada 2005 silam. Ia membeli dua botol benih anggrek yang kemudian diletakkan di halaman rumahnya. Sebagian bibitnya dititipkan pada pedagang tanaman di Batu dan Malang, Jawa Timur. Saat itu, dia kesulitan menjual bibit karena belum banyak yang tertarik membeli bibit anggrek. Namun, Dedek tetap fokus berbisnis bibit anggrek. Ia selalu mengganti bibit-bibit lama dengan yang baru agar koleksi tetap segar. Ia juga mulai menimba ilmbu soal kultur jaringan untuk membibitkan anggrek. Keterbatasan modal membuat terus berpikir kreatif dengan memanfaatkan properti yang ada untuk membuat kultur jaringan. Mulai dari alat penanak nasi sampai panci presto milik ibunya digunakan sebagai alat percobaan. Dalam percobaan kultur jaringan ini, Dedek juga harus melewati puluhan hingga ratusan kegagalan sampai mendapatkan hasil sesuai dengan keinginannya. Sulitnya membenihkan anggrek sempat membuatnya hampir putus asa. "Untuk memotivasi diri, saya biasanya pergi melihat pekarangan anggrek teman yang sudah sukses dan berkumpul dengan teman-teman komunitas anggrek untuk tukar pikiran," katanya pada KONTAN. Selain memutar otak untuk menghasilkan benih anggrek melalui teknik kultur jaringan dengan biaya efisien, Dedek masih rajin menitipkan benih tanamannya di pedagang. Uang hasil penjualannya dikumpulkan untuk membeli peralatan pendukung serta menyewa lahan dibelakang rumah sebagai tempat percobaan dan menyimpan seluruh koleksi tanamannya. Lantaran sibuk dengan bisnis anggrek ini, kedua orang tuanya pun protes. Maklum, mereka tak tidak ingin melihatnya menjadi seorang petani setelah menyelesaikan pendidikan paska sarjana. Namun, Dedek tak bergeming. Ia terus menekuni budidaya anggrek hingga ikut dalam pelatihan penjurian anggrek di Singapura tahun 2008. "Waktu saya pamit ke orang tua dan menjelaskan sumber uang dari penjualan anggrek barulah mereka mulai percaya dan mendukung saya," ceritanya. Kerap menemui kesulitan dalam pengiriman Soal logistik kerap menjadi kendala bagi sejumlah pengusaha. Seperti Dedek Setia Santosa, saat awal berbisnis, ia kerap menemui kesulitan saat mengirimkan anggreknya. Seringkali perusahaan logistik meminta dokumen perijinan (karantina), meski tujuan pengiriman hanya antar kota. Alhasil, Dedek pun sering mengaku barang kirimannnya berupa suvenir. Lebih dari 10 tahun menjalani usaha, Dedek masih kesulitan mendapatkan dokumen perijinan untuk ekspor tanaman. Sampai sekarang pun dia belum bisa melakukan pengiriman tanaman langsung ke luar negeri. Kebanyakan pelanggan di luar negeri datang ke kebun untuk membeli benih berupa botol untuk dibawa kembali ke negara asalnya. Laki-laki 40 tahun ini getol mengunggah hasil penyilangan anggreknya di media sosial, Facebook. Unggahan foto-foto tersebut juga menjadi modal para reseller berjualan. Maklum, sampai sekarang Dedek tidak melayani pembelian eceran untuk pasar lokal. Dia menjelaskan, untuk menyilangkan anggrek butuh pengetahuan dan ketrampilan khusus. Misalnya mengetahui gen dominan dan resesif dari setiap tanaman, sehingga bisa menghasilkan jenis yang dinginkan. Tak semua anggrek yang disilangkan diproduksi dalam jumlah besar. Untuk hasil silangan tertentu atau anggrek langka hanya diproduksi terbatas, supaya harga tetap tinggi dan stabil.
Guna memenuhi seluruh kebutuhan perkebunan dan laboratorium miliknya, Dedek harus mendatangkan langsung beberapa kebutuhan pengemasan seperti pot fleksibel. Kedepan, dia berharap daerah tempatnya tinggal yaitu Kelurahan Dadap Rejo, Areng-Areng, kota Batu menjadi kampung wisata anggrek. Pengunjung tidak hanya datang untuk membeli tanaman tapi juga mengenal lebih dekat tentang berbagai jenis anggrek sampai proses perkembangbiakannya. Rencana tersebut juga dapat dijadikan tambahan pemasukan untuk warga setempat dengan memanfaatkan lahan pertanian yang semakin sempit. Menurutnya, sebagian lahan disana banyak disulap menjadi perumahan. Untuk merealisasikan mimpinya, Dedek terbuka untuk memberikan pengetahuan tata cara bertani anggrek. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Johana K.