Dari garasi melanglang ke negeri seberang



KONTAN.CO.ID - Kalau saja PT Dieng Jaya tidak bangkrut, ceritanya bisa berbeda. Bukan tidak mungkin, Trisila Yuwantara masih menjadi karyawan pabrik pengalengan jamur yang terletak di daerah Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, itu.

Maklum, ketika Dieng Jaya berhenti beroperasi pada 2003 silam, posisinya adalah manajer produksi. Trisila sudah bekerja di anak usaha Mantrust Group tersebut selama 14 tahun. Tapi, “Waktu di-PHK, walaupun sudah demo, enggak mendapat pesangon,” ungkap dia.

Sekarang, lelaki  kelahiran Magelang, 3 Oktober 1969, ini adalah pemilik CV Yuasafood Berkah Makmur, produsen makanan dan minuman olahan dari buah carica. Saban bulan, pabrik kepunyaan Trisila dengan 67 karyawan mengolah 42 ton hingga 45 ton pepaya gunung khas Dieng itu untuk dijadikan manisan, selai, sirup, jus, permen, keripik, serta dodol bermerek dagang Buavica.


Kata ‘Yuasa’ pada Yuasafood merupakan singkatan dari nama belakangnya, Yuwantara, lalu nama depan istri dan anaknya: Sarmila dan Amelia. “Ini untuk memotivasi saya, bahwa saya bekerja untuk mereka, untuk keluarga,” jelas Trisila.

Jauh sebelumnya, 17 tahun lalu, Trisila memulai usaha makanan olahan carica dari sebuah garasi dengan tiga pekerja. Produksi awalnya baru 10 kilogram manisan carica per hari. Sekarang, dia sudah punya pabrik, gudang, kantor, gerai penjualan, dan tempat pelatihan.

Waktu memulai usaha itu, lulusan STM Pembangunan Pertanian Temanggung, Jawa Tengah ini sebetulnya masih bekerja di Dieng Jaya. Tapi, tanda-tanda perusahaan tersebut bakal karam sudah tampak. “Jadi, ibarat kapal, saya sudah mencari sekoci. Pagi saya kerja di perusahaan, malam saya kerja untuk usaha sendiri,” ujarnya.

Sebelum memulai usaha sendiri, Trisila sudah melakukan penelitian dan percobaan terlebih dahulu, dengan mengadopsi teknologi tinggi dari pabrik tempatnya bekerja. Bukan cuma carica, ia menjajal kacang, jamur dan sayur yang ada di Dataran Tinggi Dieng.

Hasil penelitian dan percabaan Trisila menunjukkan, skor tertinggi didapat carica.

Pertama, carica merupakan tanaman endemik Dieng.

Kedua, tumbuhan ini berbuah sepanjang tahun, tak mengenal musim panen.

Ketiga, budidayanya mudah. Cukup beri pupuk organik setahun sekali dan tidak ada penyakit serta hama.

“Saya melihat potensi yang tinggi dari carica yang saat itu hanya ditanam di pematang kebun kentang warga,” jelas Trisila.

Meski begitu, Trisila bukanlah penemu manisan carica. Produk ini sudah ada sejak 1980-an. Yang mengembangkan pertama kali ialah Dieng Jaya. Namun, saat itu produknya belum layak diproduksi skala pabrik.

Budidaya carica

Di awal usahanya, Trisila membuat manisan carica dengan peralatan sederhana. Maklum, kala itu dia cuma punya tabungan Rp 500.000 untuk modal awal. “Dengan mengadopsi teknologi tinggi dari pabrik, saya inovasi menjadi skala rumahtangga pakai peralatan sederhana,” beber Trisila.

Lalu, ia mengemas manisan carica buatannya ke dalam kaleng. Untuk proses pengalengan, Trisila menggandeng STM Pembangunan Pertanian Temanggung. Sebab, sekolah ini memiliki mesin pengalengan yang jarang dipakai lantaran hanya buat praktik siswa.

Namun, mesin tersebut dalam kondisi rusak sehingga dia harus memperbaikinya. “Dengan saya masuk ke sekolah itu, kan, mesin jadi terawat dan saat siswa praktik pun mereka tinggal memakai bahan yang sudah saya siapkan. Jadi, simbiosis mutualisme,” kata Trisila.

Namun, kongsi itu hanya berlangsung selama setahun. Pasalnya, stok bahan baku kaleng habis dan harganya terus naik karena harus impor. Trisula pun akhirnya mengganti kemasan kaleng menjadi stoples kaca yang harganya lebih murah.

Agar produknya bisa menjangkau pasar yang lebih luas, Trisila juga mengemas manisan carica buatannya dalam wadah plastik dan memperkecil ukurannya. Kemasan plastik memakai teknologi paling sederhana. Pengadaannya pun menjadi lebih mudah dan murah.

Dengan begitu, harga jual manisan carica bisa lebih murah tanpa mengurangi rasa, warna, dan gizi. “Karena bisa memproduksi dengan biaya lebih murah, saya bisa pasarkan produk ini jauh lebih luas dari sebelumnya,” ucapnya.

Produksi manisan carica Trisila terus meningkat. Masalahnya, saat itu, bahan bakunya terbatas karena tanaman ini belum dibudidayakan.

Penduduk Dieng hanya menanamnya di pematang kebun kentang mereka. Itu pun tak banyak lantaran bisa menghalangi sinar matahari sehingga mengganggu pertumbuhan tanaman kentang.

Trisila akhirnya merayu petani untuk membudidayakan tanaman carica, dengan jaminan membeli buahnya dengan harga yang menguntungkan. Ketika itu, ada satu petani yang mau bermitra dengan Trisila.

Produksinya terus meningkatl. Salah satunya, berkat ikut sertanya Trisula di pameran di Pekan Raya Jakarta (PRJ) tahun 2005. “Di situ saya dapat peluang pasar yang cukup besar tapi kendalanya bahan bakunya kurang. Jadi, saya ibaratnya turun gunung lagi untuk mengurusi bahan bakunya, mengurusi pertaniannya,” tutur Trisila.

Jumlah petani yang jadi mitra pun bertambah. Saat ini, ada sekitar 200 petani yang bermitra dengan Yuasafood.

Tapi, keberhasilan membudidayakan carica tidak serta merta membuat usaha Trisila menjadi mulus. Sebab, kapasitas produksinya ternyata tak bisa mengikuti kecepatan hasil budidaya buah bernama Latin Vasconcellea cundinamarcensis itu.

Buntutnya, usaha Trisila mengalami kelebihan bahan baku sepanjang 2006–2007 dan terpaksa dibuang akibat busuk. Ditotal-total, selama satu tahun ia membuang carica yang busuk mencapai 20 ton. “Itu sangat besar pada masa itu, karena produksi kami hanya 400–600 kg per bulan,” sebutnya.

Bentuk koperasi

Biar pasokan carica yang berlebihan tidak terbuang sia-sia, Trisila membentuk kluster-kluster usaha mikro, kecil, menengah (UMKM) untuk mengolah carica. Dia menggandeng Dinas Koperasi setempat dan kelompok pemuda desa di Dieng. UMKM inilah yang kemudian menyerap pasokan carica yang berlebih dari petani.

Di 2008, Trisila mendirikan koperasi yang menangani tata niaga carica dari hulu sampai hilir. Namanya: Koperasi Serba Usaha (KSU) Karika. Koperasi ini menetapkan harga terendah di tingkat petani supaya petani tidak merasa rugi.

KSU juga menetapkan harga tertinggi saat musim kemarau agar harga carica tak terlalu melonjak. “Sehingga, suplai bisa stabil, petani pun termotivasi,” kata dia.

Awal berdiri, koperasi ini baru beranggotakan 22 orang. Sekarang, anggotanya sudah bertambah menjadi 114 orang, mulai petani, UMKM pembuat produk olahan carica, hingga pemasar. “Tapi, di belakang anggota ini ada kelompok lain. Artinya, yang memanfaatkan nilai baik koperasi ini bisa sampai 300-an orang,” imbuh Trisila.

Seperti kebanyakan usaha lainnya, bisnis Trisila juga sempat mengalami pasang surut. Selain merugi gara-gara kelebihan bahan baku carica, arus kas usahanya pernah tidak lancar.

Soalnya, penjualan produk olahan carica bersifat musiman. Penjualannya hanya laris saat libur panjang anak sekolah, bulan puasa dan Lebaran, serta Natal dan Tahun Baru.

Kondisi itu yang kemudian mendorong Trisila membuat produk makanan olahan lain dari jamur dan salak. Pada 2003, ia mulai memproduksi keripik salak dan di 2005 membikin keripik jamur. “Ini yang menyelamatkan cash flow saat penjualan carica turun. Sekarang 50:50 penjualan carica dan bukan carica,” ujarnya.

Tidak hanya di dalam negeri, produk carica Yuasafood sudah menembus pasar ekspor sejak 2016 lalu, yang terbanyak ke Thailand. Pada 2017, Trisila mengekspor produknya sebanyak dua kontainer ke negeri gajah putih.

Saat ini, ia sedang membidik pasar Eropa dan Amerika dengan mengikuti banyak pameran di luar negeri, seperti di Belanda, Prancis, Jerman, serta Kanada.

Trisula terus berinovasi dengan membuat varian dan produk baru. Yang terbaru, ia memproduksi sambal yang sudah berjalan selama 1,5 tahun terakhir.

Bahkan, Trisila sudah punya pembeli tetap dalam jumlah besar, yakni pemilik restoran yang memiliki hampir 100 gerai di Indonesia. Tiap hari, ia memasok 100 kg–200 kg sambal ke restoran itu.

Dalam setahun, Trisila menambahkan, minimal ada tiga inovasi anyar, bisa varian, produk, atau kemasan baru. “Kami sedang siapkan puding carica, saya berharap bisa ada di tiap penerbangan,” katanya. Biar produk carica juga bisa terbang semakin tinggi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: S.S. Kurniawan