JAKARTA. Bermula dari tontonan anak-anak di salah satu stasiun televisi nasional di era 1980-an, Firman Widyasmara jatuh cinta pada dunia video stop motion. Tak heran, ia mengklaim dirinya sebagai stop motion enthusiast atawa penggemar stop motion di halaman situs pribadinya. Selepas lulus SMA pada tahun 1996, Firman ingin melanjutkan pendidikannya di Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (FSRD-ITB). Namun, Firman harus mengubur impiannya karena ia tidak lulus tes buta warna parsial. Akhirnya ia memilih melanjutkan di Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran pada tahun yang sama.Meski kuliah di jurusan sosial, ketertarikan Firman terhadap dunia seni terlebih video stop motion tak berkurang. Ia tak patah arang untuk menggeluti dunia seni video stop motion. Sembari kuliah, Firman bekerja lepas sebagai ilustrator di majalah MTV Trax Jakarta kala itu. Tak heran, kuliahnya jadi terbengkalai dan baru lulus tujuh tahun kemudian pada tahun 2003.Menyelesaikan kuliah, tak lantas membuat Firman memilih pekerjaan yang berkaitan dengan dunia seni. Firman bekerja di salah satu bank. Tak sesuai dengan minatnya, pada tahun 2004, Firman keluar dari pekerjaannya sebagai karyawan bank dan bergabung dalam studio animasi ternama di Jakarta, Hellomotion. Di sana ia berperan sebagai animator dan tenaga pengajar.Genap tiga tahun, Firman memutuskan untuk keluar dari studio tersebut dan membentuk sebuah komunitas pecinta video stop-motion yang ia namakan Komunitas Lanting. Lambat laun, komunitas ini beralih menjadi sebuah studio animasi komersial. "Awalnya memang hanya komunitas. Tapi lama-lama kok banyak yang minta pesan dibuatkan video stop-motion," tambah Bapak satu anak ini. Kini, studio tersebut mengerjakan berbagai proyek seperti video stop-motion, video dua dimensi dan video tiga dimensi.Firman biasa mengerjakan video stop motion menggunakan bahan baku yang mudah didapat seperti lilin, kertas, kawat, kayu dan lain sebagainya. Kunci keberhasilan pembuatan video stop motion bukan di bahan baku, melainkan keseluruhan detail pengerjaan. Misalnya, ketika membuat suatu karakter dari lilin, karakter tersebut bisa meleleh karena saat sesi pemotretan menggunakan lampu yang terang. "Maka kita harus pintar-pintar menyiasatinya," ujarnya.Berbeda dengan studio kebanyakan yang mematok tarif berdasarkan tarif, Studio Lanting mematok tarif tergantung dari konsep, penggunaan bahan baku dan lamanya pengerjaan. Sebagai gambaran, Firman pernah mengerjakan video stop-motion dengan tarif Rp 70 juta dengan durasi tiga menit. Bahan baku yang ia gunakan karton, kain dan bahan sederhana lainnya.Iapun berbagi tips kepada mereka yang meminati pembuatan video stop motion. Menurutnya, yang paling utama harus mau terus berlatih dan kreatif menggunakan bahan baku. Alasannya, menggerakan benda mati seolah benda hidup itu tidak mudah. "Terus berlatih, tidak mungkin kalau tidak gagal. Pasti ada gagalnya," tambahnya.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Dari hobi, Firman berjaya di video stop motion
JAKARTA. Bermula dari tontonan anak-anak di salah satu stasiun televisi nasional di era 1980-an, Firman Widyasmara jatuh cinta pada dunia video stop motion. Tak heran, ia mengklaim dirinya sebagai stop motion enthusiast atawa penggemar stop motion di halaman situs pribadinya. Selepas lulus SMA pada tahun 1996, Firman ingin melanjutkan pendidikannya di Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (FSRD-ITB). Namun, Firman harus mengubur impiannya karena ia tidak lulus tes buta warna parsial. Akhirnya ia memilih melanjutkan di Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran pada tahun yang sama.Meski kuliah di jurusan sosial, ketertarikan Firman terhadap dunia seni terlebih video stop motion tak berkurang. Ia tak patah arang untuk menggeluti dunia seni video stop motion. Sembari kuliah, Firman bekerja lepas sebagai ilustrator di majalah MTV Trax Jakarta kala itu. Tak heran, kuliahnya jadi terbengkalai dan baru lulus tujuh tahun kemudian pada tahun 2003.Menyelesaikan kuliah, tak lantas membuat Firman memilih pekerjaan yang berkaitan dengan dunia seni. Firman bekerja di salah satu bank. Tak sesuai dengan minatnya, pada tahun 2004, Firman keluar dari pekerjaannya sebagai karyawan bank dan bergabung dalam studio animasi ternama di Jakarta, Hellomotion. Di sana ia berperan sebagai animator dan tenaga pengajar.Genap tiga tahun, Firman memutuskan untuk keluar dari studio tersebut dan membentuk sebuah komunitas pecinta video stop-motion yang ia namakan Komunitas Lanting. Lambat laun, komunitas ini beralih menjadi sebuah studio animasi komersial. "Awalnya memang hanya komunitas. Tapi lama-lama kok banyak yang minta pesan dibuatkan video stop-motion," tambah Bapak satu anak ini. Kini, studio tersebut mengerjakan berbagai proyek seperti video stop-motion, video dua dimensi dan video tiga dimensi.Firman biasa mengerjakan video stop motion menggunakan bahan baku yang mudah didapat seperti lilin, kertas, kawat, kayu dan lain sebagainya. Kunci keberhasilan pembuatan video stop motion bukan di bahan baku, melainkan keseluruhan detail pengerjaan. Misalnya, ketika membuat suatu karakter dari lilin, karakter tersebut bisa meleleh karena saat sesi pemotretan menggunakan lampu yang terang. "Maka kita harus pintar-pintar menyiasatinya," ujarnya.Berbeda dengan studio kebanyakan yang mematok tarif berdasarkan tarif, Studio Lanting mematok tarif tergantung dari konsep, penggunaan bahan baku dan lamanya pengerjaan. Sebagai gambaran, Firman pernah mengerjakan video stop-motion dengan tarif Rp 70 juta dengan durasi tiga menit. Bahan baku yang ia gunakan karton, kain dan bahan sederhana lainnya.Iapun berbagi tips kepada mereka yang meminati pembuatan video stop motion. Menurutnya, yang paling utama harus mau terus berlatih dan kreatif menggunakan bahan baku. Alasannya, menggerakan benda mati seolah benda hidup itu tidak mudah. "Terus berlatih, tidak mungkin kalau tidak gagal. Pasti ada gagalnya," tambahnya.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News