Bekerja di industri tambang sudah menjadi pilihan hidup Hendra Jaya, Presiden Direktur PT Pertamina Gas. Mengawali karir profesionalnya sejak tahun 1989, pria kelahiran Prabumulih 49 tahun silam ini sudah mengecap banyak asam garam dan kehidupan yang keras di dunia tambang. Awal karir Hendra dimulai setelah lulus kuliah dari Fakultas Teknik Pertambangan Institut Teknologi Bandung (ITB) pada tahun 1988. Kala itu ia langsung terjun di bidang pekerjaan sesuai ilmu yang dimilikinya. Ia memulai karir profesionalnya di PT Arutmin Indonesia pada Januari 1989. Di perusahaan tambang batubara ini, Hendra bekerja sebagai mine engineer.Menurut Hendra, pada saat itu Arutmin masih tergolong perusahaan tambang kecil. Beda dengan sekarang yang sudah menjadi salah satu perusahaan penghasil dan pengekspor batubara terbesar di Indonesia.
Bagi Hendra, Arutmin adalah sekolah pertamanya dalam menimba pengalaman sekaligus mengaplikasikan ilmu yang ia peroleh dari bangku kuliah.Sebagai karyawan baru, ia sangat menikmati pekerjaannya di industri tambang. "Saya ingin membuktikan kemampuan yang saya miliki," ujarnya kepada KONTAN belum lama ini. Sebagai mine engineer, Hendra banyak menghabiskan waktu dengan bekerja di lapangan. Tugasnya berkaitan dengan bahan galian, mulai dari penyelidikan umum (prospeksi), eksplorasi, penambangan hingga pengangkutan. Kendati bekerja di lapangan, ia tak pernah mengeluh. Bahkan Hendra tak segan menambah jam kerja bila tugas yang diembannya belum tuntas. Melihat semangat dan kegigihannya dalam bekerja, perusahaan lalu mempromosikannya untuk mengikuti training pertambangan ke Amerika Serikat (AS). "Saya waktu itu salah satu kandidat yang dicalonkan mengikuti training ke Amerika," katanya. Namun sayang, kesempatan itu lewat karena Hendra keburu pindah pekerjaan. Tahun 1990, Hendra diterima bekerja di PT Pertamina. Sebelum memutuskan bergabung dengan Pertamina, Hendra sempat ragu karena harus memilih antara kesempatan belajar ke Amerika atau menerima pekerjaan di Pertamina. Setelah mempertimbangkan dengan matang, Hendra llau memutuskan menerima pekerjaan di Pertamina. "Saya terpaksa harus mengubur kesempatan belajar di Amerika," ujarnya. Hanya satu tahun di Arutmin, tepatnya sejak Juli 1990, ia memulai karier di Pertamina sebagai Field Engineer di ladang minyak Sangatta Kalimantan. Seperti pekerjaan sebelumnya, Hendra bekerja di upstream perminyakan seperti pengeboran dan eksplorasi. "Awal karir, saya ditempatkan di pelosok yang jauh dari mana-mana. Penerbangan saja hanya dua kali seminggu di Balikpapan," kata Hendra. Bertugas di bidang hulu migas bukan hal mudah. Ia bertanggung jawab terhadap setumpuk target eksplorasi dan produksi migas. Belum lagi harus berpindah–pindah tugas dari satu daerah ke daerah lainnya. Selama 24 tahun bertugas di Pertamina, Hendra sudah beberapa kali dipindah ke berbagai daerah. Sebagai pekerja lapangan, Hendra mengibaratkan dirinya seperti prajurit TNI karena harus siap ditempatkan dimana saja. Setelah empat tahun bertugas di Lapangan Sangatta, Oktober 1994, ia pulang kembali ke daerah asalnya di Sumatra. Saat itu ia diangkat menjadi Senior Operating Engineer di perusahaan join operasi antara Pertamina dengan Talisman Energy (OK) Ltd. Di posisi ini Hendra menjabat selama kurang lebih tujuh tahun. Selanjutnya ia kembali dipindah ke beberapa lokasi.Pada bulan Mei 2001, Hendra ditugaskan ke Sumatera Utara dengan menjabat sebagai Chief Production Engineer Pertamina. Jabatan ini hanya diembannya dalam waktu delapan bulan saja. Di tahun 2002, Hendra dipindah ke daerah Riau jengan menjadi tim manager zamrud FMT, join operasi Pertamina Bumi Siak Pusako. Dua tahun di Bumi Siak Pusako, Hendra lalu ditugaskan ke Aceh sebagai manager lapangan di ladang minyak Rantau PT Pertamina EP. Bertugas di Aceh merupaka pengalaman paling berharga baginya. "Itu menjadi sejarah dalam karir saya. Karena harus memperhatikan kondisi sosial dan keamanan di lokasi konflik, tetapi harus tetap bekerja dengan baik. Risikonya diculik sampai dibunuh," ujar Hendra. Kendati selalu mengemban tugas berat, Hendra mengaku tak pernah mengeluh. Bahkan, hambatan–hambatan yang selalu ditemuinya di lapangan dijadikan pelecut agar dia dapat bekerja lebih baik lagi. "Saya cukup teruji mengelola dan mengatasi krisis," kata Hendra. Perjalanan karirnya kian cemerlang setelah diangkat menjadi General Manager HSE di Pertamina EP pada Agustus 2008. Namun posisi ini hanya dijabatnya selama tiga bulan saja. Selanjutnya, ia kembali ditugaskan ke tempat jauh. Sejak Desember 2008 hingga Agustus 2013, Hendra mendapat tugas baru sebagai General Manager join operasi Pertamina dengan Medco E&P Tomori di Sulawesi. Di tempat ini, Hendra menghabiskan waktunya sekitar tiga tahun. Setelah puas dipindah ke berbagai daerah, akhirnya karirnya mencapai puncaknya dengan diangkat menjadi Presiden Direktur PT Nusantara Regas pada bulan Mei 2011. Ini adalah perusahan patungan Pertamina dan PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN). Jabatan ini diembannya selama lebih tiga tahun. Di bawah kepemimpinannya, Nusantara Regas berhasil membangun infrastruktur Floating Storage and Regasification Unit (FSRU) beserta fasilitas pendukung lain di Teluk Jakarta yang mulai dioperasikan pada pertengahan 2012. Fasilitas infrastruktur ini memasok kebutuhan gas ke pembangkit listrik Muara Karang dan Tanjung Priok, sehingga mengurangi pemakaian BBM.Selama periode 24 Mei 2012 sampai 30 April 2013, Nusantara Regas telah menyalurkan gas sebesar 53.38 million british thermal units (MMBTU) atau setara 1,5 juta kiloliter. Penghematan APBN yang didapat setara Rp 6 triliun. Memimpin Pertagas Sukses memimpin Nusantara Regas, September 2013 ia diangkat sebagai Presiden Direktur PT Pertamina Gas (Pertagas). Kedudukan yang tinggi dan comfort zone (zona nyaman) tidak membuat Hendra berpuas diri. Bahkan dia selalu siap untuk keluar dari zona tersebut. Hendra mengaku selalu tertantang dengan tugas–tugas baru yang diberikan kepadanya. "Dalam hidup tidak terlalu ngoyo, yang penting selalu mencoba menjadi yang terbaik," kata Hendra. Tak terkecuali dengan kedudukannya sekarang. Dia bilang, setidaknya untuk pertumbuhan pendapatan Pertagas setiap tahunnya mencapai lebih dari 15%–20%. Sepanjang 2013 lalu misalnya, Pertagas berhasil membukukan laba bersih sebesar US$ 158,84 juta atau sekitar Rp 1,9 triliun. Angka itu meningkat 29% dibandingkan laba tahun 2012.
Ada pun pendapatan Pertagas pada 2013 sebesar US$ 615,46 juta atau sekitar Rp 7,5 triliun, meningkat 54% dibanding tahun 2012 sebesar US$ 400,22 juta. Peningkatan pendapatan itu didapat dari pendapatan niaga gas yang meningkat lebih dari 65% sebesar US$ 246,28 juta dibandingkan tahun 2012 yang hanya US$ 149,47 juta. Adapun volume penjualan sepanjang 2013 mencapai 33.866 miliar british thermal unit (billion british thermal unit/BBTU) atau naik 46,79% dari volume penjualan tahun sebelumnya. Menurut Hendra, potensi pemanfaatan gas di Indonesia masih besar. "Target kami menjadi perusahaan paling maju di bidang ini," ujarnya.Selain pembangkit listrik, ia juga getol membuka pasar ke berbagai sektor. Antara lain membangun sambungan gas rumah tangga, tambang, pelayaran dan kereta api. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Havid Vebri