KONTAN.CO.ID - Ide usaha bisa datang dari teman sesama pengamen jalanan. Begitulah kisah Sendi Siswanto saat memulai usaha pembuatan sabun mandi transparan pada 2004 silam. Usianya baru 19 tahun kala merintis bisnis tersebut. “Kebetulan saya suka nyanyi dan senang ngamen. Saya bergaul dengan teman-teman sesama pengamen di Jakarta. Ada salah satu teman yang tahu formulasi sabun transparan dan saya berminat sekali untuk mengembangkannya,” kata dia. Usahanya berkembang pesat dan merambah ke produk kosmetik dengan skala pabrik. Kini, di bawah bendera PT Emaklon Digital Internasional, Sendi bisa mengantongi pendapatan miliaran rupiah per bulan.
Tapi siapa sangka, pria kelahiran 19 September 1985 ini mengawali perjalanan dari bekerja sebagai pemulung di Jakarta. Awalnya, ia menyusul orangtuanya ke Ibu Kota RI pada tahun 2003. “Dari kecil tinggal di Blitar sama nenek,” imbuhnya. Sejatinya, orangtua Sendi merupakan pedagang pengumpul (pengepul) barang bekas, mulai kardus hingga besi tua. Meski, bisnis orangtuanya belum gede-gede amat. Melihat pemulung yang dalam sehari bisa mengantongi duit Rp 150.000, dia pun tertarik. “Saya lihat, jadi pemulung enak banget. Saya coba jadi pemulung, cari-cari kardus bekas, tapi kok enggak dapat-dapat,” ujar Sendi yang hanya beberapa hari menjadi pemulung. Akhirnya, ia pun memutuskan menerima tawaran dari orangtuanya untuk bekerja sebagai kenek truk milik mereka. Dia bertugas membantu supir mengantar barang bekas ke pabrik. Kurang lebih setahun ia melokoni pekerjaan itu. Di sela-sela jadi kenek, lantaran punya hobi bernyanyi, Sendi mengamen. Cuma, ia mulai mikir, kalau tetap bekerja sama orangtua, bagaimana masa depannya kelak. “Seluruh keluarga saya berbisnis seperti yang orangtua saya lakukan. Tapi, saya lihat, mereka masih begitu-begitu saja. Akhirnya saya berpikir untuk bergerak dan keluar dari zona nyaman, lingkungan ini,” ucapnya. Nah, saat mengamen, dia kenal dengan banyak pengamen, yang salah satu di antaranya, ya itu tadi, mengetahui resep membuat sabun transparan. Bermodal tabungan sebesar Rp 2 juta dari hasil menjadi kenek, Sendi memberanikan diri menjajal usaha pembuatan sabun. Cuma, hitung punya hitung, modalnya masih kurang Rp 3 juta. Sebab, selain untuk membeli peralatan dan bahan baku, ia meski mengontrak rumah untuk bengkel produksi. “Saya minta orangtua tidak dikasih karena mereka bilang, buat biaya sekolah adik saya bahkan makan sehari-hari saja sulit. Lalu, saya pun pinjam ke pacar saya,” ungkap Sendi. Setelah seluruh modal terkumpul, dia pun mulai menjalankan roda usahanya. Sendi mengawalinya dari proses percobaan selama sebulan untuk mendapatkan formula yang tepat. “Saya bikin pakai minyak, gula, dan bahan-bahan natural. Sederhanalah,” tuturnya. Banyak cobaan Lantaran rumah produksinya dekat dengan Pasar Pejagalan, Sendi pun menawarkan produknya untuk pertama kali ke pasar yang ada di daerah Tambora, Jakarta Barat itu. Yang bertugas menjual adalah temannya. Ia fokus di bagian produksi dibantu dua karyawan. Cuma, gara-gara enggak laku, sang teman mengundurkan diri. “Jadilah saya sendiri yang harus pasarkan. Saya tawarkan ke Pasar Pejagalan,” katanya. Nasib baik menghampiri Sendi. Dia bertemu pedagang besar di pasar tersebut yang mau membeli sabun transparan buatannya secara rutin, tapi tanpa merek. Alhasil, ia pun bisa mendekap omzet Rp 5 juta–Rp 10 juta sepekan. Bisnisnya pun membesar, dengan jumlah karyawan mencapai 40-an orang. Rumah produksi juga pindah ke tempat yang lebih besar di Kabupaten Tangerang. “Walau masih home industry, sudah besar usaha saya,” ungkap Sendi. Dia pun merambah ke produk kosmetik. Keputusan ini datang setelah Sendi mendapat tawaran mengikuti kursus gratis di Brata Camp dari pemilik Brata Co. Maklum, ia adalah pelanggan tetap Brata Co., yang menjual bahan-bahan kimia. Selama enam bulan ia belajar membuat aneka produk kosmetik, seperti krim wajah dan perawatan kulit lainnya. “Dari situ saya semakin tahu, bagaimana caranya produksi sabun, krim, dan lain-lain,” ujarnya. Namun, lantaran tidak berizin, dua kali Sendi harus berurusan dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) serta kepolisian, masing-masing tahun 2006 dan 2009. “Usaha saya ditutup,” tambah Sendi. Bukan cuma itu, pernah juga rumah produksinya dibakar oleh kompetitor. Belum lagi dia kena tipu pembeli. Ditotal-total, kerugian mencapai miliaran rupiah. “Tapi, saya tetap bangun lagi, karena mungkin saya dari kecil juga orangnya kalau jatuh, ya, harus bangun sendiri. Tapi jangan lupa berdoa, itu juga penting,” tambah Sendi. Setelah usahanya ditutup kepolisian pada 2009, dia hijrah ke Surabaya. Kebetulan, pada tahun itu juga ia menikah dengan perempuan asal kota pahlawan tersebut. Tambah lagi, Sendi punya mimpi membangun pabrik kosmetik yang belum bisa dia wujudkan lantaran investasi di Jakarta dan Tangerang sangat mahal. Platform digital Impiannya terwujud berkat peran sang istri. “Saya bisa bikin pabrik sendiri karena istri saya dapat warisan tanah. Kemudian, dari situlah saya jadi besar lagi,” ungkap Sendi yang membangun pabrik kosmetik di atas lahan seluas 500 m². Tak mau lagi berurusan dengan polisi, Sendi mengurus semua perizinan, termasuk ke BPOM. Untuk pertama kali, usahanya menyandang nama, yakni CV Bernita Ayu. Ia juga untuk perdana menerima order pembuatan kosmetik dari pihak lain (makloon). Karyawannya lebih dari 50 orang. Namun, cobaan belum berhenti. Pada 2014, Sendi mengalami kecelakaan lalu lintas yang membuatnya sempat koma. Selama satu bulan ia menjalani perawatan di ruang ICU salah satu rumahsakit di Jakarta. “Uang saya habis untuk biaya berobat. Utang saya ada miliaran,” tambah dia. Setelah melewati masa koma, Sendi tetap harus di Jakarta untuk menjalani pemulihan. Alhasil, secara fisik ia tidak bisa kerja. Bisnis Bernita Ayu pun jalan di tempat. Sebetulnya, ada permintaan makloon L’Oréal, tapi terpaksa dia tolak. Cuma, lagi-lagi keberuntungan menghampirinya. Pada 2016, saat masih menjalani proses pemulihan di Jakarta, salah satu klien Bernita Ayu, Nova mengajaknya berkongsi membangun pabrik yang lebih besar lagi. Karena satu visi, ia menerima pinangan tersebut. Demi mewujudkan kerjasama itu, Sendi pun menjual Bernita Ayu. Pabrik barunya berdiri di daerah Sunter, Jakarta Utara, dengan nama PT Nose Herbalindo. Nose merupakan singkatan dari nama Novi dan Sendi. Dia punya saham 40%. Sendi duduk di kursi direktur utama, sedang Nova sebagai komisaris. “Karena saya punya klien dan jaringan yang banyak, lebih dari 100 klien, jadi tidak sampai setahun, yakni enam bulan, sudah balik modal,” katanya. Modal membangun pabrik Nose Herbalindo, tambah dia, sekitar Rp 2 miliar. Tapi, kongsi dengan Nova hanya bertahan dua tahun. Setelah berkunjung ke pabrik PT Paragon Technology and Innovation yang memproduksi Wardah Cosmetics, “Saya ingin punya pabrik yang lebih besar lagi. Tapi saya berpikir, kalau mau seperti Paragon, mungkin butuh waktu 20 tahun,” ujar Sendi. Itu sebabnya, Sendi membangun platform digital penyedia jasa pembuatan kosmetik pada Juli 2018. Ia memberi nama marketplace itu: Emaklon Digital. Demi fokus membesarkan bisnis barunya itu, dia melepas saham Nose Herbalindo.
Saat ini, ada 10 pabrik kosmetik yang bergabung dengan Emaklon Digital. Sedangkan yang memesan produk kosmetik melalui marketplace ini sudah 24 klien. “Lewat Emaklon saya ingin memudahkan orang bisa punya brand sendiri tanpa harus punya pabrik dan harus datang ke pabrik. Ini yang pertama di dunia,” klaim Sendi. Ke depan, Sendi ingin Emaklon Digital bukan cuma membuat kosmetik saja, tapi juga merambah ke lini bisnis lain, seperti fesyen, makanan, dan minuman. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: S.S. Kurniawan