KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Protes atas kematian pria kulit hitam George Floyd oleh polisi di Amerika Serikat (AS), tak hanya terjadi di AS. Kini, demonstrasi juga menyebar ke negara-negara lainnya. Seperti diberitakan
France24, massa sekitar 4.000 orang menggelar demonstrasi di kota terbesar Selandia Baru, Auckland. Mereka menerikkan protes atas pembunuhan George Flyod, sekaligus menentang kekerasan polisi dan rasisme di negara mereka sendiri. Para demonstran ini berkumpul di konsulat AS, memegang spanduk "saya tidak dapat bernafas", yang menjadi kata-kata Floyd di pengujung hidupnya.
Mereka juga menyodorkan pernyataan "virus yang sebenarnya adalah rasisme", serta slogan yang sudah lama terdengar, "
Black Lives Matter". George Floyd meninggal pada 25 Mei lalu setelah lehernya ditindih polisi Derek Chauvin. Floyd yang tak memberi perlawanan, ditangkap dengan tuduhan menggunakan uang palsu. Bukan hanya di Auckland, beberapa protes juga digelar di Selandia Baru, baik yang merupakan aksi damai maupun terjadi bentrok. Di Brasil, demonstrasi lebih panas. Ratusan warga memprotes tindak kejahatan yang dilakukan polisi terhadap kulit hitam di lingkungan kelas pekerja mereka, atau yang dikenal dengan nama
favelas. Kepolisan setempat harus menembakkan gas air mata untuk membubarkan aksi ini. Kepolisian di Montreal, Kanada juga harus membubarkan massa dan menyebut unjuk rasa ini ilegal setelah demonstran melemparkan proyektil ke arah petugas. Bentrok ini pun menyebabkan sejumlah properti rusak dan kebakaran. Aksi diplomatis Di beberapa negara lainnya, aksi protes meluncur dari pejabat negara dan politikus. Jurubicara Kementerian Luar Negeri Iran Abbas Mousavi mendorong pemerintah AS menghentikan aksi kekerasan.
"Untuk petugas dan polisi Amerika: Hentikan kekerasan terhadap rakyat Anda, dan biarkan mereka bernafas," kata Mousavi pada konferensi pers di Teheran. Rusia pun tidak ketinggalan mengkritik AS. Seperti dikutip dari
Moscow Times, Kementerian Luar Negeri Russia menyebut, AS memiliki masalah hak asasi manusia sistemik: diskriminasi ras, etnis, dan agama, kebrutalan polisi, bias keadilan, dan penjara yang penuh sesak, dan kepemilikan senjata tidak terkendali oleh individu. "Kami mendesak otoritas AS untuk mengambil langkah-langkah efektif untuk memperbaiki keadaan saat ini, melanjutkan upaya dengan iktikad baik untuk menghormati komitmen internasional dan menyesuaikan undang-undang nasional dengan prinsip-prinsip dasar PBB tentang penggunaan kekuatan dan senjata api oleh penegak hukum," tulis Russia. Saat ini, demonstrasi besar-besaran juga melanda AS. Tak hanya bentrokan, aksi kemarahan ini pun berujung penjarahan di berbagai wilayah.
Editor: Sanny Cicilia